Urang Sunda

Dulur nu di lemur,baraya nu di kota,hayu urang ngamumule budaya sunda..

Calung

Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calungadalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).

Angklung

Angklung adalah alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar.

Karinding

Akrabkah kamu dengan kata Karinding? Yaps, Karinding merupakan sebuah alat musik yang telah beredar di masyarakat Tatar Sunda sejak abad ke-15. Terbuat dari pelepah pohon Enau (kawung) atau sebilah bambu berdimensi 10 x 2 cm, Karinding mengeluarkan suara unik yang konon menyerupai bunyi nyaring serangga yang biasa hidup di air sawah.

Kacapi

Kacapi adalah alat musik tradisional yang merupakan alat musik kelasik yang selalu mewarnai beberapa kesenian di tanah Sunda . Membuat kecapi bukanlah hal gampang. Meski sekilas tampak kecapi seperti alat musik sederhana, tetapi membuatnya tidaklah gampang. Untuk bahan bakunya saja terbuat dari kayu Kenanga yang terlebih dahulu direndam selama tiga bulan. Sedangkan senarnya, kalau ingin menghasilkan nada yang bagus, harus dari kawat suasa (logam campuran emas dan tembaga), seperti kecapi yang dibuat tempo dulu.

Suling Bambu / Suling Sunda

Alat musik ini adalah alat musik tiup terbuat dari bambu Tamiang, salah satu jenis bambu yang tipis dan diameter kecil sehingga cocok untuk dibuat seruling, suling Sunda disebut ‘suling’ yang biasa menemani Kacapi, gamelan dan gamelan Tembang Sunda, suara yang dihasilkan sangat unik dan membangkitkan jiwa pendengar, itu karena skala nada seruling dan jiwa pemain suling.

Pages

Senin, 12 Januari 2015

Wiranatakoesoema

Wiranatakoesoema, juga dieja Wiranatakusuma atau Wiranatakoesoemah, adalah nama sejumlah Bupati Bandung di masa Hindia Belanda.
 Foto makam para bupati Wiranatakoesoema di Bandung, yang diambil pada tahun 1918.

R.A.A. Wiranatakoesoema V, anggota “Volksraad” dan bupati Bandung, di kongres “Prijaji-Bond” (Ikatan Priyayi) pada tahun 1929 di Surakarta.

R.A.A. Wiranatakoesoema IV (1846-1874) dan para anak buahnya.

Para bupati Bandung di masa kolonial

R.A.A. Wiranatakoesoema IV (1846-1874) dan para anak buahnya.

Setelah kemerdekaan

Daftar Bupati Bandung
Wiranatakoesoema dapat mengacu kepada beberapa hal berikut:
sumber


Syafruddin Prawiranegara

Mr. Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911 – meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.

Masa muda dan pendidikan

Tokoh yang lahir di Anyar Kidul yang memiliki nama kecil "Kuding", yang berasal dari kata Udin pada nama Syariffudin. Ia memiliki darah keturunan Sunda dari pihak ibu dan Sunda Minangkabau dari pihak ayah. Buyutnya dari pihak ayah, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Ia menikah dengan putri bangsawan Banten, melahirkan kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Ayah Syafruddin bekerja sebagai jaksa, namun cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur.
Syafruddin menempuh pendidikan ELS pada tahun 1925, dilanjutkan ke MULO di Madiun pada tahun 1928, dan AMS di Bandung pada tahun 1931. Pendidikan tingginya diambilnya di Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada tahun 1939, dan berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Magister Hukum).

Pra-kemerdekaan

Sebelum kemerdekaan, Syafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (1939-1940), petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta pegawai Departemen Keuangan Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

Pemerintah Darurat RI

Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948. Syafruddin menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI pada 1948.
Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.

Jabatan pemerintahan

Syafrudin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Ia menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan pada tahun 1946, Menteri Keuangan yang pertama kali pada tahun 1946 dan Menteri Kemakmuran pada tahun 1947. Pada saat menjabat sebagai Menteri Kemakmuran inilah terjadi Agresi Militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI.
Seusai menyerahkan kembali kekuasaan Pemerintah Darurat RI, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada tahun 1949, kemudian sebagai Menteri Keuangan antara tahun 1949-1950. Selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.
Syafruddin kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada tahun 1951. Sebelumnya ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian diubah menjadi Bank Sentral Indonesia.

Keterlibatan dalam PRRI

Pada awal tahun 1958, PRRI berdiri akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat. Syafruddin diangkat sebagai Perdana Menteri PRRI dan kemudian membentuk Kabinet tandingan sebagai Jawaban atas dibentuknya kabinet Ir Juanda, di Jawa. Kabinet PRRI berbasis di Sumatera Tengah. PRRI masih tetap mengakui Soekarno sebagai Presiden PRRI, karena ia diangkat secara konstitusional.
Pada bulan Agustus 1958, perlawanan PRRI dinyatakan berakhir dan pemerintah pusat di Jakarta berhasil menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya bergabung dengan PRRI. Keputusan Presiden RI No.449/1961 kemudian menetapkan pemberian amnesti dan abolisi bagi orang-orang yang tersangkut dengan pemberontakan, termasuk PRRI.

Politik

Pimpinan Masyumi (1960)

Masa tua

Syafrudin Prawiranegara memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Namun berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Pada bulan Juni 1985, ia diperiksa sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta. Dalam aktivitas keagamaannya, ia pernah menjabat sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI). Kegiatan-kegiatannya yang berkaitan dengan pendidikan, keislaman, dan dakwah, antar lain:
  1. Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembinaan Manajemen (PPM), kini dikenal dengan nama PPM Manajemen(1958)
  2. Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
  3. Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984-??)
Ia juga sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Syafruddin Prawiranegara meninggal di Jakarta, pada tanggal 15 Februari 1989, pada umur 77 tahun.
"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah".

Keluarga

Syafruddin menikah dengan Tengku Halimah Syehabuddinn. Mereka memiliki delapan orang anak, dan sekitar lima belas cucu. Cucunya ketiga belas lahir di Australia sebagai bayi tabung pertama keluarga Indonesia, 1981.

sumber

Oto Iskandar di Nata

Raden Otto Iskandardinata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret 1897 – meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun) adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia mendapat nama julukan si Jalak Harupat.

Awal kehidupan

Otto Iskandardinata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Ayah Otto adalah keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja. Otto adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara.[1]
Otto menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung, kemudian melanjutkan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) Bandung, serta di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah. Setelah selesai bersekolah, Otto menjadi guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada bulan Juli 1920, Otto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS bersubsidi serta perkumpulan Perguruan Rakyat.[1]

Pra kemerdekaan

Dalam kegiatan pergarakannya di masa sebelum kemerdekaan, Otto pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung pada periode 1921-1924, serta sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan tahun 1924. Ketika itu, ia menjadi anggota Gemeenteraad ("Dewan Kota") Pekalongan mewakili Budi Utomo.
Oto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan. Ia menjadi Sekretaris Pengurus Besar tahun 1928, dan menjadi ketuanya pada periode 1929-1942. Organisasi tersebut bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan.
Otto juga menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat", semacam DPR) yang dibentuk pada masa Hindia Belanda untuk periode 1930-1941.
Pada masa penjajahan Jepang, Otto menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja (1942-1945). Ia kemudian menjadi anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai lembaga-lembaga yang membantu persiapan kemerdekaan Indonesia.

Pasca kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan, Otto menjabat sebagai Menteri Negara pada kabinet yang pertama Republik Indonesia tahun 1945. Ia bertugas mempersiapkan terbentuknya BKR dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam melaksanakan tugasnya, Otto diperkirakan telah menimbulkan ketidakpuasan pada salah satu laskar tersebut. Ia menjadi korban penculikan sekelompok orang yang bernama Laskar Hitam, hingga kemudian hilang dan diperkirakan terbunuh di daerah Banten.[2].

Pahlawan nasional

Otto Iskandardinata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Sebuah monumen perjuangan Bandung Utara di Lembang, Bandung bernama "Monumen Pasir Pahlawan" didirikan untuk mengabadikan perjuangannya.

Nama Otto Iskandardinata juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di Indonesia.

Keluarga

Sutradara Nia Dinata adalah salah seorang cucunya.

sumber

Abdullah bin Nuh

K.H. R. Abdullah Bin Noeh lahir di Cianjur tanggal 30 Juni 1905 dan wafat di Bogor tanggal 26 Oktober 1987. Selain maha guru para ulama ia juga merupakan seorang sastrawan, pendidik, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Sejak kedl mendapat pendidikan agama Islam yang sangat keras dari ayahnya, yakni K.H. R. Muhammad Nuh bin Muhammad Idris. Juga seorang ulama besar, pendiri Sekolah AI’ Ianah Cianjur. Dalam pengawasan ketat ayahnya ini, Abdullah kecil belajar agama dan bahasa Arab setiap hari. Sehingga dalam waktu relatif masih muda, ia sudah mampu berbicara bahasa Arab. Di samping mampu pula menalar kitab alfiah (kitab bahasa arab seribu bait) serta swakarsa belajar bahasa Belanda dan Inggris. Berbekal ilmu yang telah dikuasainya itu, Abdullah bin Nuh muda mengajar di Hadralmaut School. Sekaligus menjadi redaktur majalah Hadralmaut, sebuah mingguan berbahasa Arab yang terbit di Surabaya, Jawa Timur sejak tahun 1922 hingga tahun 1926. Setelah itu ayahnya mengirim Abdullah untuk menimba i1mu di Fakultas Syariah Universitas AI-Azhar, Kairo, Mesir. Setelah dua tahun lamanya Abdullah belajar di AI -Azhar, Kairo, Mesir, untuk kemudian kembali ke tanah air dan aktif mengajar di Cianjur serta Bogor. Hal itu dilakukannya sejak tahun 1928 hingga tahun 1943.

NASABNYA

H. R. Abdullah putra K.H. R. Nuh; putra Rd. H. Idris, putra Rd. H. Arifin, putra Rd. H. Sholeh, putra Rd. H. Muhyiddin Natapradja, putra Rd. Aria Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin), putra Rd. Aria Wiratanudatar IV (Dalem Sabiruddin), putra Rd. Aria Wiratanudatar III (Dalem Astramanggala), putra Rd. Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala), putra Rd. Anawiratanudatar I (Dalem Cikundul).

CIANJUR DAN I’ANAH

Cianjur ialah sebuah kota yang sejak dahulu telah terkenal para ulama dan para pahlawannya, Para Ulama giat menyebarkan ilmunya. Tak kenal lelah dan tanpa mengharapkan upah. Para pahlawannya gigih, berani dalam melaksanakan perjuangan, tanpa pamrih gaji. Kesemuanya hanyalah mengharapkan keridhoan Allah SWT dan rahmat-Nya.
Pada tahun 1912 dikota Cianjur berdirilah sebuah Madrasah yang bernama Al-l’anah ; pendirinya ialah juragan Rd. H. Tolhah Al Kholidi, sesepuh Cianjur pada waktu itu. Dalam pembinaannya ia dibantu oleh seorang Cucunya AI-Haafidh (yang hafal AI Qur’an) As-Sufi (yang menguasai kitab Ihya ‘Ulumuddin) K.H.R. Nuh, seorang ‘Aalim besar keluaran Makkah Almukarromah, murid seorang ulama besar yang ilmunya barokah, menyebar keseluruh dunia Islam, yang bermukim di kota Makkah AI-Mukarromah, yaitu : K.H.R. Mukhtar Al-thoridi, putra Jawa (Bogor)
Nadhir (Guru kepala) nya waktu itu adalah Syekh Toyyib Almagrobi, dari Sudan. Bertindak sebagai pembantu (guru bantu) adalah Rd. H. Muhyiddin adik ipar Juragan Rd. H. Tolhah AI-Kholidi. Murid pertamanya adalah : Rd. H. M. Sholeh Almadani.
Syekh Toyyib Almagrobi mengajar di AI-I’anah hanya 2 (dua) tahun, karena ia diusir oleh.pemerintah Belanda. Maka untuk mengisi kekosongan, Nadhir AI-I’anag dipegang oleh AI Ustadz Rd. Ma’mur keluaran pesantren Kresek Garut (Gudang Alfiyah) dan lulusan Jami’atul Khoer Jakarta (Gudang Bahasa Arab). Di antara murid-muridnya ialah:
Dari AI I’anah Almubarokah inilah muncul para pahlawan dan sastrawan Muslim yang namanya tidak akan sirna, tetap tercantum dalam lembaran sejarah, di antaranya ialah Rd. Abdullah bin Nuh. Ia telah menguasai bahasa Arab sejak usia 8 (delapan) tahun (penjelasan ia sendiri sewaktu hidup kepada salah seorang muridnya).
Rd. Abdullah bin Nuh adalah juara Alfiah, ia sanggup menghafal Al-fiah lbnu Malik dari awal sampai akhir dan dibalik dari akhir ke awwal (demikian menurut AI-Ustadz Rd. Abubakar sesepuh Cianjur). Walhasil: kecerdasan, bakat dan watak Rd. Abdullah bin Nuh semenjak duduk di bangku Madrasah AI-I’anah sudah nampak jelas keunggulannya.
Selain belajar di AI-I’anah, Rd. Abdullah bin Nuh tidak henti-hentinya menggali dan menimba ilmu dari ayahnya. (Ia pernah berkata kepada salah seorang muridnya : “Mama mah tiasana maca Kitab lhya teh khusus ti bapa Mama” begitu dengan logat Cianjurnya). Jadi jelas, Kota Cianjur adalah Gudang Ulama, pabrik para pahlawan dan pusat para santri. Maka tidak heran kalau kota Cianjur sejak dahulu penuh dikunjungi oleh para peminat ilmu Syari’at Islam dari seluruh pelosok Jawa Barat, dari daerah Priangan Sarat sampai ke Timur seperti : Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.

PEKALONGAN DAN SYAMAILUL HUDA

Pekalongan sebuah kota kecil yang mungil, berhasil mencetak kader-kader Muslim yang militan dan berwatak, membina mental pemuda -pemuda Islam yang berjiwa pahlawan dan bercita-cita tinggi menuju Indonesia Merdeka dengan landasan Kalimatullahi Hiyal ‘Ulya.
Di kota Pekalongan telah berdiri sebuah madrasah Arabiyyah yang benama “Syamailul Huda” yang terletak di JI. Dahrian (sekarang JI. Semarang). Madrasah tersebut mempunyai sebuah internat (pondok pesantren) dipinggiran JI. Raya, di tengah-tengah keramaian manusia, bahkan tepat berhadap-hadapan dengan sebuah gedung bioskop. Nakhoda madrasah tersebut ialah seorang Sayyid keturunan Hadrol Maut bernama: Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir AI-‘Alawi Al-Hadromi. Ia seorang ‘Alim yang berjiwa besar, bercita¬cita tinggi, berpandangan luas. Ia tak mengenal payah dan lelah, tak ingin melihat putra-putri Islam tidak maju. Ia bersemboyan: “sekali maju tetap maju, bekerja dengan semangat, disertai ikhlas niat, pasti dapat dengan selamat “.
Di Madrasah dan internat inilah Sayyid Muhammad bin Hasyim mendidik, menerapkan ajaran Islam, menggemleng pemuda-pemuda yang berwatak, calon pahlawan/ Da’i/ Muballig dan Ulama.
Syamailul Huda dan internatnya, laksana Masjidil Harom dan Darul Arqom pada zaman Rosulullah saw. Pemuda-pemuda didikan Rosulullah saw di Darul Arqom, kadar Islamnya kuat, keyakinannya bulat, akhlaqul karimahnya mengkilat, terlihat sinarnya memancar dari pribadi-pribadi para sahabat dikala itu, mereka berpegang teguh kepada amanah Rosulullah S.A.W Hidup terpuji di mata masyarakat bangsa, mati syahid perlaya di medan laga membela agama Allah SWT.
Pada tahun 1918 putra-putra Cianjur, murid-murid pilihan dari madrasah AI-I’anah berangkat ke Pekalongan menuju Syamailul Huda. Putra-putra pilihan itu ialah
  • 1. Rd. Abdullah,[1] [1]
  • 2. Rd. M.Zen,
  • 3. Rd. Taefur Yusuf ,
  • 4. Rd. Asy’ari,
  • 5. Rd. Akung,
  • 6. Rd. M. Soleh Qurowi
Ia-ia inilah yang termasuk murid-murid dakhiliyyah yang bermukim di Internat (Pondok Pesantren) Syamailul Huda bersama-¬sama dengan teman-temannya yang berjumlah sekitar 30 orang (dari Ambon, Menado, Surabaya, Singapura, dan Malaysia/ daratan Malaka). Sahabat karib Rd. Abdullah bin Nuh pada waktu itu, yang masih ada sekarang, Al Ustadz Said bin Ahmad Bahuwairits (kelahiran Ambon) yang tinggal di alamat, JI. Surabaya No. 69 Pekalongan, Jawa Tengah Ia lebih tua usianya dan Rd. Abdullah bin Nuh, ia dilahirkan di Ambon pada tahun 1904 (waktu di Syamailul Huda Rd. Abdullah bin Nuh kelas 3, AI Ustadz Said kelas 4).
Banyak sekali kata-kata mutiara yang diucapkannya. Ia memulai percakapan dengan kata-kata: “Waktu saya berziarah ke rumah Abdullah kebetulan waktu sholat Maghrib, saya tahu persis keadaan dalam rumahnya, hanya dua kamar yang sempit dan satu kamar mandi yang darurat. Padahal kalau melihat ilmunya, dan banyak murid-muridnya, dia itu orang besar, sudah tidak sesuai lagi. Tidak seperti orang-orang besar sekarang mobil-mobil banyak, gedung-gedungnya mewah, dengan rumah saya saja sudah jauh berbeda “(rumah AI Ustadz Said itu gedung dan besar sekali).
Ia (AI Ustadz Said) melanjutkan dengan ucapan ia: “Maka dari gambaran suasana rumahnya yang sangat sederhana itu, Masya Allah - Masya Allah - Masya Allah, Abdullah sedang syugul lillahi Ta’ala, dia AZ-Zaahid”
  • 1. Inilah Ulama, ini waktu, mencari seperti itu tidak ada ;
  • 2. Abdullah tetap Abdullah sebagai Kiyai ;
  • 3. Ini hidup yang benar ;
  • 4. Ini thoriq (jalan) yang benar ;
  • 5. Abdullah saudara saya
Ada beberapa Amanat-amanat ia kepada putra-putri AI-Ustadz Abdullah bin Nuh:
  • 1. Berjalanlah menurut Abdullah bin Nuh ;
  • 2. Ana ad’uu lahum (Aku berdoa untuk mereka);
  • 3. Panggillah saya ‘aamii (anggaplah orang-tuanya) ;
  • 4. Salam dari saya kepada keluarga Abdullah ;
  • 5. Dan minta foto Abdullah setetah mendekat wafat
AI Ustadz Said bin Ahmad Bahuwairits memberi julukan kepada Rd. Abdullah bin Nuh dengan julukan: Al Ustadz , AI-‘Aalim ; Al-Adiib ; Azzahid ; Al-Mutawadli ; AI-Haliim.
Madrasah Syamailul Huda ialah Samudra tempat menimba tinta mas Ilmu Ilahi. Internatnya laksana ladang tempat mendulang berlian llmu Agama Allah SWT. Maka tidak sedikit pentolan-pentolan Ulama dan pahlawan yang dihasilkan dari Madrasah tersebut. Di antaranya yang berhasil dengan gemilang dan menonjol sekali Rd. Abdullah bin Nuh, putra Cianjur, sehingga ia menjadi kesayangan gurunya. Rd. Abdullah bin Nuh sewaktu duduk di kelas 4 kelas terakhir Syamailul Huda, telah turut aktif mengaji bersama-sama dengan para guru Madrasah tersebut. Jadi Rd. Abdullah bin Nuh sudah lebih dahulu maju dari teman-teman kakak kelasnya.

SURABAYA DAN HADROL MAUT SCHOOLNYA

Kota Surabaya ialah kota yang terkenal arek-areknya pada zaman revolusi fisik dan jadi kebanggaan masyarakat Surabaya para patriotnya, dari kota 19 sampai kedesa-desa. Kira-kira pada akhir tahun 1922 AI-Ustadz Sayyid Muhammad bin Hasyim pindah ke Surabaya ; Rd. Abdullah bin Nuh dibawa dan dikembangkan bakatnya.
Di Kota Surabaya pada waktu itu ada sebuah gedung besar dan tinggi letaknya dekat jembatan besar di Jln. Darmokali (dulu Noyo Tangsi). Penulis melihat di muka gedung itu sebelah atas ada tulisan tahun 1914 waktu didirikannya. Di gedung inilah Sayyid Muhammad bin Hasyim mendirikan sekolah “Hadrolmaut School” untuk menyebar ilmunya dan melatih anak-anak didik yang dibawanya dari Pekalongan, dalam rangka mengembangkan bakat dan penampilan kemampu§n anak-anak didiknya tersebut.
Hadrolmaut Shool di Surabaya laksana Masjid Quba di Madinah sewaktu Rosulullah saw mulai menginjakkan kakinya dibumi Madinatul Munawwaroh: Tempat Rosulullah saw, mempersaudarakan ummat yang berbeda-beda bakat dan adat istiadat, tempat mempersatukan kaum Muslimin yang bermacam-macam faham dan pendapatnya, tempat Rosulullah saw mengatur siasat; bermasyarakat dan lain-lain.
Gedung “Hadrolmaut School” ialah tempat Rd. Abdullah bin Nuh dan teman-temannya dididik, dibina, digembleng cara praktek mengajar, berpidato, memimpin dan lain-lain yang dipertukan. Rd. Abdullah bin Nuh di samping diperbantukan mengajar di sekolah tersebut, ia tidak henti-hentinya menyerap dan menerima bermacam-macam ilmu Agama dan Umum, mempelajari beraneka ragam bahasa dari gurunya. Demikianlah keadaan Rd. Abdullah bin Nuh di kota Surabaya, ia berjiwa arek-arek Suroboyo yang paling lincah berjuang. Dengan ilmunya yang mendalam, jiwa yang suci dan kemauannya yang kuat, maka ia terpilih sebagai siswa yang akan dibawa ke Mesir oleh gurunya besama-sama dengan teman-temannya, sebanyak 15 orang.
Teman Rd. Abdulah bin Nuh yang bersama-sama belajar di Mesir yang masih ada di Kota Surabaya sekarang, dialah AI-Ustadz Abdul Razak AI-‘Amudi di kompleks IAIN Wonocolo. Ialah yang menyandang gelar: Syahadatul Aalimiyah dari “Jami’atul Azhar” dan Deblum Daril ‘Ulumil ‘Ulya dari Madrasah Darul ‘Ulumul ‘Ulya.

MESIR DAN AL-AZHARNYA

Bertepatan dengan didudukinya Kota Makkah AL-Mukarromah oleh kaum Wahabiyyin dan keluarnya Malik Husen meninggalkan Makkah pada tahun 1343 H (± tahun 1925 M), AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh bersama sama teman-temannya yang 15 orang itu dibawa gurunya ke Mesir untuk melanjutkan pelajarannya. Perguruan Tinggi di Mesir pada waktu itu hanya dua :

Jami’atul Azhar ( Syari’ah )

di Fakultas ini, lama belajarnya 6 tahun mendapat gelar : Syahadatul ‘Alimiyah dan kalau belajar 3 tahun mendapat gelar : Syahadatul Ahliyyah.'

Madrasah Darul’ Ulum AI-‘Ulya (AI-Adaab)

Lama belajar 4 tahun mendapat gelar: Deblum Daril ‘Ulumil ‘Ulya Syarat-syarat masuk Jami’atul Azhar di antaranya harus hafal AI-Qur’an 30 Juz. Tetapi murid-murid yang dibawa oleh AI-Ustadz Sayyid Muhammad bin Hasyim yang 15 orang itu mendapat prioritas diterima dengan hafal beberapa surat. Pengecualian ini menunjukkan kebesaran dan keberkahan murid-murid AI-Ustadz Sayyid Muhammad bin Hasyim. AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh bersama-sama dengan teman-temannya mula-mula bertempat tinggal di Syari’ul Hilmiyyah, lalu berpindah ke Syari’ul Bi’tsah Bi Midanil Abbasiyah. Pelayannya orang-orang Yaman.
Siang dan malam AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh tidak henti-hentinya belajar. Waktu adalah betul-betul berharga bagi betiau. Keluar dari Jami’atul Azhar ia pulang hanya mengganti pakaian, memakai pantalon, berdasi dan memakai torbus, terus mengikuti pengajian-pengajian di luar AI-Azhar. Mahasiswa AI-Azhar mempunyai ciri khas ialah berjubah dan bersorban dibalutkan dikepala (udeng).
AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh di Mesir sudah tidak mempelajari bahasa Arab lagi, karena ia ketika masih di Indonesia sudah benar-benar pandai dan ahli, mengusai berbagai bahasa. Ia di Mesir hanya belajar fak Fiqih (ini menurut cerita ia kepada salah seorang muridnya, katanya dalam bahasa Sunda Mama mah di Mesir teh mung diajar ilmu fiqih wungkul”. Selanjutnya ia bertanya: “Dupi salira kitab-kitab fiqih naon anu parantos diaos? Dijawab oleh muridnya dengan menyebutkan beberapa kitab Fiqih. Setelah sampai menyebut kitab Iqna, maka ia berkata: “Mama mah tamatna Iqna teh di Mesir, ari salira mah tamat Iqna teh di Indonesia.”
Dengan berkah ketekunan dan kesungguh-sungguhan, maka AI-Ustadz Abdullah bin Nuh di Mesir telah kelihatan sebagai seorang Pelajar yang paling cakap di dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. AI-Ustadz Abdur Rozzaq berpendapat: “Sebabnya Abdullah itu mempunyai kelainan daripada teman-¬temanya yang semasa, karena dia mendapatkan banyak ilmu dari hasil muthola’ah. Muthola’ah satu kitab saja sampai 10 kali. Inilah syarat muthola’ah kata AI-Ustadz Abdullah bin Nuh. Di antara kitab yang didawamkan muthola’ah ialah kitab: ARAB 2 AI-Ustadz Abdullah bin Nuh belajar di Mesir hanya selama dua tahun, dikarenakan putra gurunya yang ia temani tidak merasa betah dan gurunya pulang ke Hadrolmaut, maka AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh pun pulang ke Indonesia. Inilah riwayat hidup singkat ia masa belajar/ tholabul’ilmi atau masantren.

MADRASAH P.S.A.

Pada tahun 1927 AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh pulang dari Mesir ke Indonesia (Cianjur. Pada akhir tahun 1927 pergi ke Bogor (Ciwaringin). Ia mengajar: 1. Di Madrasah Islamiyyah yang didirikan oleh Mama Ajengan Rd. Haji Manshur.2.Para Mu’allim yang berada di sekitar Bogor dikepalai oleh Mualim H. Muhammad Arsyad Bin H. Imammudin dari bojong neros bogor. Pada awal tahun 1928 ia pindah ke Semarang tetapi tidak lama yaitu hanya 2 (dua) bulan, kemudian kembali ke Bogor. Lalu pulang lagi ke Cianjur dan ia membantu (jadi guru bantu) mengajar di AI-I’anah, waktu itu nadhirnya AI-Ustadz Rd. H.M. Sholeh AI-Madani (sekitar tahun 1930). Setelah itu ia pergi lagi ke Bogor kedua kalinya dan bertempat tinggal di Panaragan. Pekerjaan ia adalah:
  • Mengajar para kyai
  • Jadi korektor Percetakan IHTIAR (Inventaris S.I.)
Pada tahun 1934 di Bogor (di Ciwaringin) didirikan Madrasah P.S.A. (Penolong Sekolah Agama). Maksud didirkannya PSA adalah untuk mempersatukan madrasah-madrasah yang ada di sekitar Bogor yang berada di bawah asuhan Mama Ajengan Rd. H. Manshur dengan mualim H. Muhammad Arsyad bin H. Imammudin.
Susunan Pengurus P.S.A. ialah :Ketua, Mama Ajengan Rd. H. Mansur, Sekretaris M.B. Nurdin (Marah Bagindo), Inspektur K. Usman Perak. Ketua Dewan Guru/ Direktur. AI-Ustadz Rd.H.Abdullah bin Nuh, Pembantu/ Sekretaris Rd. Ali Basah beserta H. Muhammad Arsyad Selain memimpin madrasah-madrasah, juga AI-Ustadz mengajar di MULO (SLTP). Pada tahun 1939 Madrasah P.S.A, pindah ke jalan Bioskop (JI, Mayor Oking, yang sekarang dipakai Mesjid) Dari tahun 1939 s.d 1942 ia tetap bertempat tinggal di Panaragan dan setiap hari mengajar ngaji para Kyai. Walaupun AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh ilmunya telah begitu banyak, tetapi selama di Bogor ia masih terus menambah ilmunya dari seorang ulama (Mufti Malaya) yaitu Sayyid ‘Ali bin Thohir dan Haji Muhammad Arysad dari bojong neros.

PEJUANG KEMERDEKAAN

[2] [2]
Sejarah mencatat bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943, lalu diikuti lahirnya HIZBULLAH beberapa minggu kemudian di mana para alim ulama kemudian masuk menjadi anggota organisasi itu. Tahun 1943 tersebut benar benar merupakan tahun penderitaan yang amat berat khususnya bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Boleh dikatakan bahwa saat itu adalah salah satu ujian paling berat bagi bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1943 itulah AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh masuk PETA dengan pangkat DAIDANCO yang berasrama di Semplak Bogor.
Lalu pulang lagi ke Cianjur dan ia membantu (jadi guru bantu) mengajar di AI-I’anah, waktu itu nadhirnya AI-Ustadz Rd. H.M. Sholeh AI-Madani (sekitar tahun 1930). Setelah itu ia pergi lagi ke Bogor kedua kalinya dan bertempat tinggal di Panaragan. Pekerjaan ia adalah: 1. Mengajar para kyai. 2. Jadi korektor Percetakan IHTIAR (Inventaris S.I.)
Pemimpin-pemimpin umat ini, para alim ulama di sana-sini ditangkap oleh Dai Nippon, di antaranya Hadlorotnya Syekh Hasyim Asy’ari pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng. Ia dipenjarakan di Bubutan, Surabaya. Di Jawa Barat perlakuan serupa dilakukan terhadap KH. Zainal Mustofa, Tasikmalaya, bahkan sampai gugurnya karena di siksa Dai Nippon. Ia adalah Pemimpin Pondok Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya. Tanggal 6 Agustus 1945 senjata dahsyat bom atom dijatuhkan Amerika Serikat di atas kota Hiroshima, disusul kemudian tanggal 9 Agustus born atom gelombang kedua dijatuhkan pula di atas Nagasaki. Sekutu mengumandangkan kemenangannya. Bangsa Indonesia saat itu sangat optimis dengan tekuk lututnya Jepang terhadap sekutu. Ternyata pada tanggal 17 Agustus 1945 beberapa hari setelah pemboman terhadap kedua kota itu kita bangsa Indonesia memperoleh hikmah, yaitu kemerdekaan yang diperoklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Apakah ini bukan rohmat dari Allah SWT?
Cobaan demi cobaan telah dan akan selalu kita hadapi. Pada tanggal 19 September 1945 di Surabaya terjadi peristiwa besar yang merupakan titik awal yang menyulut semangat kepahlawanan rakyat Surabaya. Beberapa personil Belanda yang saat itu membonceng sekutu berhasil menyamar sebagai Missi Sekutu mengibarkan bendera merah putih biru di Hotel Yamato, Tunjungan Surabaya. Kemudian personil Belanda lainnya setelah tiba di Tanjung Priok merayap keseluruh pelosok Jawa di antaranya ke Bandung, Yogya, Magelang dan Surabaya. ini merupakan tantangan berat lagi bagi bangsa Indonesia. Namun rakyat tiada mengenal mundur atau menyerah. Begitu pula AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh terus melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan memimpin barisan Hizbutlah dan BKRI TKR di kota Cianjur bersama-sama dengan barisan lainnya hingga pertengahan tahun 1945.
Pada tanggal 21 Romadhon 1363 H/ 29 Agustus 1945 M, di Jakarta dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNlP) dan sekaligus melangsungkan sidang pertamanya. Ketua KNIP ditetapkan Mr. Kasman Singodimedjo, salah seorang bakes Daidanco PETA Jakarta. Anggota KNIP di antaranya adalah AI-¬Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh. Pada tanggal 4 Juni 1946 Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta.[pagebreak]
YOGYAKARTA DAN P.T.I. NYA (SEKARANG UII) Yogyakarta adalah sebuah kota kecil yang mendadak menjadi ibukota Repbulik Indonesia dan pusat segala kegiatan politik. Semenjak awal 1946, situasi politik terus meningkat dan ketegangan serta pergolakan terjadi di mana-mana. Yogyakarta amat berat memikul beban nasional di atas pundaknya. Namun AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh adalah benar-benar seorang ulama pejuang yang pandai membagi waktu. Walaupun tugas ia sangat berat, sebagai tentara yang mewakili Jawa Barat dan anggota KNIP lainnya, namun ia masih sempat mendirikan RRI Yogyakarta siaran bahasa Arab dan kemudian mendirikan STI (Sekolah Tinggi Islam/ UII) bersama dengan KH. Abdul Kohar Muzakkir.
Yang lebih unik lagi ialah tidak melupakan tugas kekiyaian, yaitu mengajar ngaji. Hasil didikan ia waktu di Yogyakarta di antaranya adalah Ibu Mursyidah dan AI-Ustadz Basyori Alwi, yang telah berhasil membuka Pesantren yang megah di JI. Singosari No.90 dekat kota Malang, dan banyak lagi Asatidz tempaan ia.
Pada bulan Desember 1948 Yogyakarta bezet (diduduki tentara Belanda). Tentara RI mundur dari Kota Yogya dan terjadilah perang gerilya selama 6 bulan, mulai dari Desember 1948 s.d. Juni 1949. Perang gerilya ini dilakukan pula oleh para pejabat, walaupun dia itu adalah seorang Menteri. Pada bulan Juni itulah (tepatnya tanggal 5) AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh menikah dengan Ibu Mursyidah, salah seorang puteri didiknya yang telah disebut tadi.
Tanggal 29 Juni 1949 setelah tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta, pasukan Republik Indonesia yang sedang bergerilya bersama rakyat masuk kembali ke Yogyakarta. Itu berarti bahwa, Yogyakarta kembali menjadi Ibukota Republik Indonesia. Sejarah pertama kali mencatat, yaitu tanggai 17 Desember 1946, Bung Karno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat dengan mengambil tempat di Keraton Yogyakarta. Kemudian di akhir tahun 1949 Pemerintah RI pindah ke Jakarta, dan saat itu pulalah AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh bersama ibu Mursyidah (istrinya) hijrah ke Jakarta.

JAKARTA DAN UI-NYA

Setelah melalui liku-liku hidup dan mengarungi pasang surutnya gelombang perjuangan, keluarga AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh menetap di Jakarta selama lebih kurang 20 tahun, yaitu mulai tahun 1950 s.d. 1970, Di Jakarta inilah ia menjadikan ibu kota sebagai arena pengabdiannya kepada Allah SWT dan kepada hamba-Nya. Ia mengajar mengaji para asatidz/ Mu’allimin, memimpin Majlis-majlis Ta’lim, menjabat sebagai Kepala Seksi Bahasa Arab pada Studio RRI Pusat. Selain itu juga aktif dalam kantor berita APB (Arabian Press Board). Kemudian pernah pula menjadi Dosen UI (Universitas Indonesia) bagian Sastra Arab, pemimpin Majalah Pembina dan Ketua Lembaga Penyelidikan Islam.
Di samping itu pada tahun 1959 sebelum kepindahan ke Kota Bogor, ia telah aktif memimpin pengajian-pengajian di Bogor, yaitu :1. Majlis Ta’lim Sukaraja (AI-Ustadz Rd. Hidayat) 2. Majlis Ta’fim Babakan Sirna (AI-Ustadz Rd. Hasan) 3. Majlis Ta’lim Gang Ardio (KH. Ilyas) 4. Majlis Ta’lim Kebon Kopi (Mu’allim Hamim) Dan akhirnya pada tanggal 20 Mei 1970 Mama hijrah dari Jakarta ke Bogor.

MAMA DAN “AL-GHAZALY”

YIC “AI-Ghazaly” ialah Pusat Pendidikan Islam (Pesantren, Majlis Ta’lim, sekolah umum dan madrasah Diniyah). “AI-Ghazaly” sudah tidak asing lagi bagi Ummat Islam warga Bogor. YIC “AI-Ghazaly” memiliki empat lokasi yaitu: AG I di Kotaparis , AG II di Cimanggu (H. Firdaus), AG III di Cimanggu Perikanan dan AG IV di Cibogor. YIC “AI-Ghazaly” adalah Mazro’atul Akhiroh (ladang akherat) Mama. Tempat Mama memberikan pelajaran kepada para Ustadz dan kyai-kyai yang berada di sekitar Bogor, bahkan ada pula yang datang dari Jakarta, Cianjur, Bandung dan Sukabumi. Majlis-majlis Ta’lim yang ada dalam asuhan Mama adalah : AI-Ghazaly (Kotaparis) AI-Ihya(Batu Tapak) Al-Khaeriyah (Bojong Neros) AI-Husna (Layungsari) Nurul Imdad (Babakan Fakultas, belakang IPB) Nahjussalam (Sukaraja).
Kesemuanya itu adalah tempat pengabdian Mama setelah usianya lanjut. Bagi Mama tiada hari tanpa kuliah shubuh. Kegiatan rutin setiap minggunya adalah hari Senin s.d. Kamis di Majlis Ta’lim AI-Ihya, Jumat s.d. Ahad di AI-Ghazaly, sedangkan Ahad siang (ba’da dzuhur) di Nahjussalam Sukaraja.
Selain itu, Mama juga mengadakan pengajian khusus untuk para pemuda dan pelajar, mahasiswa/ mahasiswi. Demikian kegiatan Mama di “AI-Ghazaly” yang tidak mengenal istirahat.

MAMA DAN “NAHJUSSALAM”

Nahjus Salam ialah Pesantren idaman Mama yang belum terlaksana dengan sempurna dan tentunya.wajib kita tanjutkan sampai tuntas. Jauh sebelum merencanakan “Nahjus Salam”, Mama pernah mengutarakan keinginannya kepada salah seorang muridnya: “Mama ingin sekali punya Pesantren”. Kemudian muridnya itu bertanya: “Didaerah mana Mama ingin mendirikan Pesantren itu? Di Bogor Timur, Ciluar atau di Cianjur?” Mama menjawab: Di Sukaraja. Muridnya masih penasaran, kemudian melanjutkan pertanyaannya: “Kenapa ingin di Sukaraja?” Ia menjawab: Ingin dekat dengan makam eyang Mama (Kanjeng Dalem) Melaksanakan amanat Mama Ajengan Manshur (Bilamana Mama Ajengan Manshur wafat, harus diteruskan oleh ia). Ingin istirahat total Penulis pada waktu itu tidak memperhatikan akan arti dan kandungan obrolan Mama yang sebenarnya mendalam serta penuh dengan isyarat itu.
Maka pada hari Sabtu tanggal 1 Muharram 1404 H, bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1983, dimulailah pembangunan fisik Pesantren Nahjus Salam yang diprakarsai oleh para putera Almarhum Rd. H. Jamhur Ciwaringin Tanah Sewa beserta sesepuh dan warga Sukaraja AI-Ustadz Hasanuddin. Bangunan Pesantren tersebut selesai pada akhir bulan Rajab tahun itu juga. Peresmian yang langsung diisi oleh Mama dilaksanakan hari Jum’at tanggal 25 Rajab 1404 H/ 27 April 1984, dan hari Ahad tanggal 12-Sya’ban (lebih kurang 2 minggu setelah peresmian) dimulai pengajian di Nahjus Salam.
Keinginan Mama selalu terkabul, sukses dan Barokah. Maunahnya mutai nampak dan terlihat oleh khalayak ramai. Padahal menurut penulis setelah mengamati dan selalu memperhatikan gerak-geriknya, Mama memiliki keutamaan (kelebihan) ilmu, dan maunahnya telah terlihat dan terasa sejak Mama mulai menetap di Bogor. Pernah penulis alami ketika pada suatu kejadian yang membuktikan tentang itu.
Kira-kira tahun 1973 Mama bersama penulis berziarah kepada seorang kyai yang telah dianggap wali oleh para Ulama yang tahu tentang keadaan kyai itu. Ada tiga keanehan menurut penulis yang sangat mencolok pada pribadi Mama saat itu: Pertama: Bukan Mama yang masuk ke kamar Kyai yang sedang sakit berat itu, tetapi justru kyailah yang datang menemui Mama di ruang tamu. Ke dua: Mama memohon didoakan oleh Kyai itu, tetapi keadaan sebaliknya yang terjadi, yakni Kyailah yang meminta didoakan. Akhirnya Mamalah yang berdoa. Kyai bersama penulis mengamini. Ke tiga: Ketika Mama permisi, kyai itu mengantarkan sampai ke pintu gerbang pekarangan rumahnya, sedangkan Kyai itu tidak pernah melakukannya terhadap siapapun.
Dengan ketiga hal yang menurut penulis mengandung keanehan itu, membuktikan bahwa derajat Mama sudah lain dari pada yang lain. Obrolan Mama mengenai “ingin istirahat total” ini merupakan isyarat bahwa kepulangan Mama ke Rahmatullah telah mendekat. Karena hanya wafatnya hamba kekasih Allahlah yang termasuk dan boleh dikatakan “Istirahat Total”. Permohonan Mama ingin istirahat total dikabulkan oleh Allah SWT.
Pada hari senin malam selasa, jam 19.15 WIB ba’da Isya, tanggal 26 Oktober 1987 bertepatan dengan tanggal 4 Robi’ul Awwal 1408 H ia pulang ke Rahmatullah. “Innaa Lillaahi wa Inna Ilaihi Rooji’uuna”. Thoriqoh Mama ada tiga: 1. Mengajar2. Muthola’ah 3. Mengarang.
Di mana saja Mama tinggal, Mama betah, asal Mama bisa menjalankan yang tiga itu dengan tenang. Jadi jelaslah, pindahnya Mama dan satu daerah ke daerah lain adalah termasuk : yang mudah-mudahan pulangnya Mama ke Rahmatullah pun demikian adanya, hijrah kepada keridhoan Allah SWT.

AMANAHNYA

Di dalam mengarungi dunia yang penuh dengan godaan dan sarat dengan fitnah, Mama memberikan amanah kepada penulis tentang cara menghadapi manusia-manusia di abad modern ini, yaitu harus berpendirian. Khumul = Tidak ternama Malamih = Manampakkan roman muka Tawakal kepada Allah SWT. Insya Allah selamat dari godaan dan fitnah.

AHLUL BAIT MAMA / KETURUNAN

Ibu Cianjur dan putra-putrinya:

Ibu Cianjur Ny. Rd. Mariyah (Alm.) putra-putrinya adalah:

Rd. Ahmad (Tangerang)

Rd. Wasilah (Almarhumah, Jakarta)

Rd. Hj. Romlah (Kotaparis, Bogor)

Rd. Hilal (Sukaraja, Bogor)

Rd. Hamid (Australia)

Ibu Bogor dan putra-putrinya :

Ibu Bogor adalah Dra. Hj. Mursyidah (Ummul Ghazaliyyin), Putra-putrinya adalah :

Rd. Aminah (almarhumah)

Rd. Aisyah (almarhumah)

Rd. Hj. Mariyam

Rd. Zahro (almarhumah)

Rd. Zulfa

Rd. H. Toto Mustofa

Ulama Kharismatik itu telah pulang ke Rahmatullah Akan menerima keridhoan Allah Kita yang ditinggalkan Wajib melanjutkan Amanat Mama kita laksanakan Thoriqoh Mama kita jalankanMudah-mudahan riwayat hidup Mama yang ringkas ini menjadi cermin untuk kita semuanya kaum muslimin-muslimat, baik tua maupun muda.

Karya-karya tulis

Karya-karya tulis dengan bahasa Indonesia yang berbentuk buku di antaranya, yaitu:

Al-Islam

Islam dan Materialisme

Islam dan Komunisme

Islam dan Pembahasan

Keutamaan Keluarga Rosulullah

Islam dan Dunia Modern

Risalah As-Syuro

Ringkasan Sejarah Wali Songo

Riwayat Hidup Imam Ahmad Muhajir

Sejarah[3] [3] - Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten

Pembahasan Tentang Ketuhanan

Wanita Dalam Islam

Zakat dan Dunia Modern

Karya-karya tulis dengan bahasa Arab yaitu berbentuk natsar (karangan bebas) dan syi’ir (puisi)
Selain mengarang K.H.R. Abdullah bin Nuh juga menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan Sunda.
Kitab-kitab yang ia terjemahkan kebanyakan karangan Imam AI-Ghazaly yang ia kagumi. Di antara terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia adalah:
  • Renungan;
  • O’Anak;
  • Pembebasan dari Kesesatan;
  • Cinta dan Bahagia;
  • Menuju Mukmin Sejati (Minhajul-Abidin, karangan terakhir imam Ghazaly.
Adapun yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Sunda di antaranya berjudul: 1. Akhlaq; 2. Dzikir Sebagai seorang Ahli bahasa Arab, K.H.R. Abdullah bin Nuh menyempatkan diri menyusun kamus bersama sahabatnya H. Umar Bakry, di antara kamusnya adalah:
  • Kamus Arab - Indonesia;
  • Kamus Indonesia - Arab - Inggris;
  • Kamus Inggris - Arab - Indonesia;
  • Kamus Arab - Indonesia - Inggris;
  • Kamus Bahasa Asing (Eropa), berkisar hubungan: - diplomatik politik- ekonomi, dll.
sumber

Iwa Koesoemasoemantri

Iwa Koesoemasoemantri (lahir di Ciamis, 31 Mei 1899 – meninggal 27 November 1971 pada umur 72 tahun) atau Iwa Kusumasumantri (Ejaan Soewandi), adalah seorang politikus Indonesia. Iwa lulus dari sekolah hukum di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dan Belanda sebelum menghabiskan waktu di sebuah sekolah di Uni Soviet. Setelah kembali ke Indonesia ia membuktikan dirinya sebagai seorang pengacara, nasionalis, dan, kemudian, seorang tokoh hak-hak pekerja. Selama dua puluh tahun pertama kemerdekaan Indonesia, Iwa memegang beberapa posisi kabinet. Setelah pensiun ia melanjutkan pengabdiannya dengan terus menulis. Pada tahun 2002 Iwa dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Iwa Koesoemasoemantri (lahir di Ciamis, 31 Mei 1899 – meninggal 27 November 1971 pada umur 72 tahun) atau Iwa Kusumasumantri (Ejaan Soewandi), adalah seorang politikus Indonesia. Iwa lulus dari sekolah hukum di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dan Belanda sebelum menghabiskan waktu di sebuah sekolah di Uni Soviet. Setelah kembali ke Indonesia ia membuktikan dirinya sebagai seorang pengacara, nasionalis, dan, kemudian, seorang tokoh hak-hak pekerja. Selama dua puluh tahun pertama kemerdekaan Indonesia, Iwa memegang beberapa posisi kabinet. Setelah pensiun ia melanjutkan pengabdiannya dengan terus menulis. Pada tahun 2002 Iwa dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kehidupan awal

Iwa lahir di Ciamis, Jawa Barat, pada tanggal 31 Mei 1899. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di sekolah yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda, ia berangkat ke Bandung, di mana ia masuk di Sekolah Pegawai Pemerintah Pribumi (Opleidingsschool Voor inlandse Ambtenaren, atau OSVIA ). Tidak mau mengadaptasi budaya Barat dalam menuntut ilmu di sekolah, ia keluar dan pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) untuk masuk di sekolah hukum, sementara ketika di ibukota kolonial tersebut, ia juga bagian dari Jong Java, sebuah organisasi untuk pemuda Jawa.
Iwa lulus pada tahun 1921 dan melanjutkan studinya di Universitas Leiden di Belanda. Di negara itu ia bergabung dengan Serikat Indonesia (Indonesische Vereeniging), sebuah kelompok nasionalis para intelektual Indonesia. Dia menekankan bahwa Indonesia harus bekerja sama, terlepas dari ras, keyakinan, atau kelas sosial, untuk memastikan kemerdekaan dari Belanda; ia menyerukan tentang non-kerjasama dengan kekuatan-kekuatan kolonial. Pada tahun 1925 ia pindah ke Uni Soviet untuk menghabiskan setengah tahun belajar di Universitas Komunis kaum tertindas dari Timur di Moskow. Di Uni Soviet ia sempat menikah dengan seorang wanita Ukraina bernama Anna Ivanova; keduanya memiliki seorang putri, bernama Sumira Dingli.
Setelah kembali ke Hindia tahun 1927, Iwa bergabung dengan Partai Nasional Indonesia dan bekerja sebagai pengacara. Dia kemudian pindah ke Medan, Sumatera Utara, di mana ia mendirikan surat kabar Matahari Terbit; koran yang mengaspirasi hak-hak pekerja dan mengkritik perkebunan milik Belanda yang besar di daerah itu. Karena tulisan-tulisannya, dan mengikuti upaya untuk mengorganisir serikat dagang, pada 1929 Iwa ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dan menghabiskan satu tahun di penjara sebelum dibuang ke Banda Neira, di Kepulauan Banda, untuk jangka waktu sepuluh tahun.
Sementara ketika di Banda Iwa menjadi seorang Muslim yang taat, namun ia terus percaya pada nilai Marxisme. Dia juga bertemu beberapa tokoh nasionalis terkemuka yang juga ada di pengasingan, termasuk Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tjipto Mangunkusumo. Iwa kemudian kembali ke Batavia dan, selama pendudukan Jepang (1942-1945) dioperasikan sebuah firma hukum di sana. Ia juga memberikan beberapa kuliah tentang penyebab nasionalis, di bawah pengawasan ketat pasukan pendudukan Jepang.

Pasca-kemerdekaan

Sebagai akibat dari kekalahan Jepang di Pasifik yang semakin jelas, pemimpin nasionalis Indonesia mulai mempersiapkan kemerdekaan. Iwa menyarankan penggunaan istilah proklamasi, yang akhirnya digunakan,[7] dan membantu menyusun UUD 1945,[8] Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 1Agustus 1945.
Selama bulan-bulan awal revolusi yang kemudian diikuti dengan proklamasi, Iwa bekerja sama dengan elemen baru, pribumi, dan pemerintah. Pada tanggal 31 Agustus ia terpilih sebagai Menteri Sosial dalam kabinet pertama di bawah Presiden Soekarno. Dia menjabat sampai November 1945. Ia kemudian bergabung dengan Persatuan Perjuangan, yang dipimpin oleh Tan Malaka. Ia dituduh terlibat dan sempat ditahan karena didakwa terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946, yang menyebabkan pemerintah Indonesia memenjarakannya; tahanan lainnya termasuk Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, dan Tan Malaka.
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, dan di Republik Indonesia Serikat yang baru ini, Iwa menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat hingga 1950. Pada tahun 1953 Iwa terpilih sebagai Menteri Pertahanan Pertama di Kabinet Ali Sastroamidjojo, di bawah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo; masa jabatannya berlangsung sampai tahun 1955. Pada tahun 1957 Iwa menjadi rektor di Universitas Padjadjaran di Bandung. Istilah politik terakhir, 1963-1964, adalah sebagai menteri untuk Kabinet Kerja IV.
Setelah pensiun dari politik Iwa menulis panjang lebar, yang sering bertema tentang sejarah. Karya yang diterbitkan dalam periode ini termasuk Revolusi Hukum di Indonesia, Sejarah Revolusi Indonesia (dalam tiga jilid). Pokok-Pokok dan Ilmu Politik (Muamalah Politik). Dia meninggal pada 27 November 1971 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.
Pada 6 November 2002 Iwa dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Menurut sejarawan Indonesia Asvi Warman Adam, ini adalah sebuah proses, karena afiliasi Iwa dengan Tan Malaka dan kepentingan komunis lainnya, upaya yang sebelumnya tidak didukung oleh pemerintahan Orde Baru di bawah rezim Presiden Suharto.
 Sumber

Djoeanda Kartawidjaja

Ir. H. R. Djoeanda Kartawidjaja (ejaan baru: Juanda Kartawijaya) lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 – meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.
Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) [1].
Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda.
Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional.


Awal Kehidupan dan Pendidikan

Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, merupakan anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di HIS dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hogere Burger School (HBS) di Bandung, dan lulus tahun 1929. Pada tahun yang sama dia masuk ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933. Semasa mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhamadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhamadiyah. Karier selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum propinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.
Ir. H. Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Meniti karier dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Semenjak lulus dari TH Bandung (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di TH Bandung dengan gaji lebih besar.
Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.

sumber

Raden Dewi Sartika

Raden Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

Biografi

Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakak ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
Sedari kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, dari pernikahannya itu ia memiliki putra bernama R. Atot, yang merupakan Ketua Umum BIVB, sebuah klub sepak bola yang merupakan cikal bakal dari Persib Bandung.[butuh rujukan] Suami dari Dewi Sartika memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, bahasa sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.

Sumber

Senin, 05 Januari 2015

Mochammad Sanoesi

Jenderal Polisi (Purn.) Mochammad Sanoesi (lahir di Bogor, Jawa Barat, 15 Februari 1935 – meninggal di Jakarta, 26 Desember 2008 pada umur 73 tahun) adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia sejak 7 Juni 1986 hingga 19 Februari 1991.
Lulusan PTIK Angkatan VII ini kemudian dilantik menjadi Komisaris Polisi II. Selanjutnya, dia belajar di International Police Academy, Amerika Serikat (1969). Dia pun mengikuti pendidikan karier lainnya di Polri dan ABRI, seperti Seskopol (1970) dan Sesko ABRI-Gabungan (1976). Namun, karier Sanoesi dalam dinas kepolisian dimulai sejak menjabat sebagai Komandan Resort Kepolisian 1051 Madiun (1963-1968). Lalu menjabat Kastaf Komdin 104 Kediri (1968-1972) dan Paban III/Litbang, Komandan Pusat Kesenjataan Administrasi dan Kastaf Kobangdildat Polri (1972-1981).

Biografi

Kapolri Moch Sanoesi mempunyai pandangan bahwa dalam menjalankan tugasnya Polri harus mengoptimalkan seluruh potensi yang ada, baik yang dimilikinya sendiri maupun yang ada pada masyarakat. Selain itu seluruh potensi yang ada juga harus didinamisir agar mampu mendukung tugas-tugas Polri. Berangkat dari sanalah kemudian Sanoesi sebagai Kapolri mencanangkan motto Optimasi dan Dinamisasi yang kemudian terkenal dengan istilah Opdin.
Dari pengalaman bertugas di kewilayahan dan di bidang pendidikan itu, dia melihat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di lingkungan Polri diperlukan penyempurnaan mekanisme dan sistem pendidikan Polri. Lantas dia pun mengajukan wawasan bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya Polri mutlak harus dilandasi dengan penggunaan ilmu dan teknologi. Maka, lahirlah falsafah Vidya Satyatama Mitra, yang berarti, Pengetahuan adalah Sahabat Paling Setia. Agar wawasan itu terus diingat, kemudian dilekatkan pada Pataka Kobangdildat Polri berupa sasanti Widya Satyatama Mitra.
Sewaktu Sanoesi menjabat Kadis Litbang Polri (1981-1982), peran Iptek makin menjadi pengasah profesionalisme Polri. Misalnya, waktu itu, Sanoesi mengajak sejumlah pakar berbagai disiplin ilmu dari Universitas Indonesia untuk merumuskan deskripsi tentang masyarakat dari dimensi Kamtibmas. Pendidikan dan Iptek itu pula yang menjadi modal dan pengalaman berharga dalam mendinamisasikan tanggung jawabnya selaku Kapolda Kalimantan Selatan dan Tengah (1982-1984). Di Kalimantan itu pun dia menjalin dialog komunikatif dengan para tokoh masyarakat, terutama tokoh agama, dalam memelihara Kamtibmas. Dia kemudian diangkat menjadi Asisten Kepala Staf Umum ABRI Bidang Kamtibmas (Askamtibmas Kasum ABRI) pada 1984-1985, lalu menjadi Kapolda Jawa Tengah (1985).
Ketika menjabat Askamtibmas Kasum ABRI, Sanoesi diperintahkan menyusun Strategi Pembinaan Kamtibmas jangka sedang (1984-1988). Naskah inilah yang kelak menjadi embrio dari penggelaran Strategi Opdin (Optimasi dan Dinamisasi) sewaktu Sanoesi menjabat Kapolri. Strategi Opdin ini juga dimaksudkan sebagai benang merah kelanjutan dari kedua Strategi Kapolri sebelumnya, yaitu "Pola Dasar Pembenahan Polri" oleh Kapolri Jenderal Pol DR Awaloedin Djamin MPA, dan "Rencana Konsolidasi dan Fungsionalisasi (Rekonfu)" oleh Kapolri Jenderal Pol Anton Soedjarwo.
Semua itu didasarkan pada kesadarannya bahwa proses pembangunan Polri dan citranya dalam masyarakat bukanlah merupakan proses yang ditempuh secara terpenggal-penggal, melainkan merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan dan konsisten. Atas segenap pengabdiannya, antara lain Sanoesi menerima Bintang Dharma, Bintang Bhayangkara Utama, dan Bintang Yudha Dharma Nararya. Sementara dari dunia internasional dia menerima Bintang Pratama Born (Thailand), Bintang Panglima Satya Mahkota (Malaysia) dan Comandeur de la Legian D'honneur.

sumber