K.H. R. Abdullah Bin Noeh lahir di
Cianjur tanggal 30 Juni 1905 dan wafat di
Bogor tanggal 26 Oktober 1987. Selain maha guru para ulama ia juga merupakan seorang sastrawan, pendidik, dan
pejuang kemerdekaan
Indonesia. Sejak kedl mendapat pendidikan agama Islam yang sangat keras
dari ayahnya, yakni K.H. R. Muhammad Nuh bin Muhammad Idris. Juga
seorang ulama besar, pendiri Sekolah AI’ Ianah Cianjur. Dalam pengawasan
ketat ayahnya ini, Abdullah kecil belajar agama dan bahasa Arab setiap
hari. Sehingga dalam waktu relatif masih muda, ia sudah mampu berbicara
bahasa Arab. Di samping mampu pula menalar kitab alfiah (kitab bahasa
arab seribu bait) serta swakarsa belajar bahasa Belanda dan Inggris.
Berbekal ilmu yang telah dikuasainya itu, Abdullah bin Nuh muda mengajar
di Hadralmaut School. Sekaligus menjadi redaktur majalah Hadralmaut,
sebuah mingguan berbahasa Arab yang terbit di
Surabaya,
Jawa Timur
sejak tahun 1922 hingga tahun 1926. Setelah itu ayahnya mengirim
Abdullah untuk menimba i1mu di Fakultas Syariah Universitas AI-Azhar,
Kairo,
Mesir. Setelah dua tahun lamanya Abdullah belajar di
AI -Azhar,
Kairo, Mesir, untuk kemudian kembali ke tanah air dan aktif mengajar di
Cianjur serta Bogor. Hal itu dilakukannya sejak tahun 1928 hingga tahun
1943.
NASABNYA
H. R. Abdullah putra K.H. R. Nuh; putra Rd. H. Idris, putra Rd. H.
Arifin, putra Rd. H. Sholeh, putra Rd. H. Muhyiddin Natapradja, putra
Rd. Aria Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin), putra Rd. Aria Wiratanudatar
IV (Dalem Sabiruddin), putra Rd. Aria Wiratanudatar III (Dalem
Astramanggala), putra Rd. Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala),
putra Rd. Anawiratanudatar I (
Dalem Cikundul).
CIANJUR DAN I’ANAH
Cianjur ialah sebuah kota yang sejak dahulu telah terkenal para ulama
dan para pahlawannya, Para Ulama giat menyebarkan ilmunya. Tak kenal
lelah dan tanpa mengharapkan upah. Para pahlawannya gigih, berani dalam
melaksanakan perjuangan, tanpa pamrih gaji. Kesemuanya hanyalah
mengharapkan keridhoan Allah SWT dan rahmat-Nya.
Pada tahun 1912 dikota Cianjur berdirilah sebuah Madrasah yang
bernama Al-l’anah ; pendirinya ialah juragan Rd. H. Tolhah Al Kholidi,
sesepuh Cianjur pada waktu itu. Dalam pembinaannya ia dibantu oleh
seorang Cucunya AI-Haafidh (yang hafal AI Qur’an) As-Sufi (yang
menguasai kitab Ihya ‘Ulumuddin) K.H.R. Nuh, seorang ‘Aalim besar
keluaran Makkah Almukarromah, murid seorang ulama besar yang ilmunya
barokah, menyebar keseluruh dunia Islam, yang bermukim di kota Makkah
AI-Mukarromah, yaitu : K.H.R. Mukhtar Al-thoridi, putra Jawa (Bogor)
Nadhir (Guru kepala) nya waktu itu adalah Syekh Toyyib Almagrobi,
dari Sudan. Bertindak sebagai pembantu (guru bantu) adalah Rd. H.
Muhyiddin adik ipar Juragan Rd. H. Tolhah AI-Kholidi.
Murid pertamanya adalah : Rd. H. M. Sholeh Almadani.
Syekh Toyyib Almagrobi mengajar di AI-I’anah hanya 2 (dua) tahun,
karena ia diusir oleh.pemerintah Belanda. Maka untuk mengisi kekosongan,
Nadhir AI-I’anag dipegang oleh AI Ustadz Rd. Ma’mur keluaran pesantren
Kresek Garut (Gudang Alfiyah) dan lulusan Jami’atul Khoer Jakarta
(Gudang Bahasa Arab). Di antara murid-muridnya ialah:
Dari AI I’anah Almubarokah inilah muncul para pahlawan dan sastrawan
Muslim yang namanya tidak akan sirna, tetap tercantum dalam lembaran
sejarah, di antaranya ialah Rd. Abdullah bin Nuh. Ia telah menguasai
bahasa Arab sejak usia 8 (delapan) tahun (penjelasan ia sendiri sewaktu
hidup kepada salah seorang muridnya).
Rd. Abdullah bin Nuh adalah juara Alfiah, ia sanggup menghafal
Al-fiah lbnu Malik dari awal sampai akhir dan dibalik dari akhir ke
awwal (demikian menurut AI-Ustadz Rd. Abubakar sesepuh Cianjur).
Walhasil: kecerdasan, bakat dan watak Rd. Abdullah bin Nuh semenjak
duduk di bangku Madrasah AI-I’anah sudah nampak jelas keunggulannya.
Selain belajar di AI-I’anah, Rd. Abdullah bin Nuh tidak
henti-hentinya menggali dan menimba ilmu dari ayahnya. (Ia pernah
berkata kepada salah seorang muridnya : “Mama mah tiasana maca Kitab
lhya teh khusus ti bapa Mama” begitu dengan logat Cianjurnya). Jadi
jelas, Kota Cianjur adalah Gudang Ulama, pabrik para pahlawan dan pusat
para santri. Maka tidak heran kalau kota Cianjur sejak dahulu penuh
dikunjungi oleh para peminat ilmu Syari’at Islam dari seluruh pelosok
Jawa Barat, dari daerah Priangan Sarat sampai ke Timur seperti :
Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.
PEKALONGAN DAN SYAMAILUL HUDA
Pekalongan sebuah kota kecil yang mungil, berhasil mencetak
kader-kader Muslim yang militan dan berwatak, membina mental pemuda
-pemuda Islam yang berjiwa pahlawan dan bercita-cita tinggi menuju
Indonesia Merdeka dengan landasan Kalimatullahi Hiyal ‘Ulya.
Di kota Pekalongan telah berdiri sebuah madrasah Arabiyyah yang
benama “Syamailul Huda” yang terletak di JI. Dahrian (sekarang JI.
Semarang). Madrasah tersebut mempunyai sebuah internat (pondok
pesantren) dipinggiran JI. Raya, di tengah-tengah keramaian manusia,
bahkan tepat berhadap-hadapan dengan sebuah gedung bioskop. Nakhoda
madrasah tersebut ialah seorang Sayyid keturunan Hadrol Maut bernama:
Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir AI-‘Alawi Al-Hadromi. Ia seorang
‘Alim yang berjiwa besar, bercita¬cita tinggi, berpandangan luas. Ia tak
mengenal payah dan lelah, tak ingin melihat putra-putri Islam tidak
maju. Ia bersemboyan: “sekali maju tetap maju, bekerja dengan semangat,
disertai ikhlas niat, pasti dapat dengan selamat “.
Di Madrasah dan internat inilah Sayyid Muhammad bin Hasyim mendidik,
menerapkan ajaran Islam, menggemleng pemuda-pemuda yang berwatak, calon
pahlawan/ Da’i/ Muballig dan Ulama.
Syamailul Huda dan internatnya, laksana Masjidil Harom dan Darul
Arqom pada zaman Rosulullah saw. Pemuda-pemuda didikan Rosulullah saw di
Darul Arqom, kadar Islamnya kuat, keyakinannya bulat, akhlaqul
karimahnya mengkilat, terlihat sinarnya memancar dari pribadi-pribadi
para sahabat dikala itu, mereka berpegang teguh kepada amanah Rosulullah
S.A.W Hidup terpuji di mata masyarakat bangsa, mati syahid perlaya di
medan laga membela agama Allah SWT.
Pada tahun 1918 putra-putra Cianjur, murid-murid pilihan dari
madrasah AI-I’anah berangkat ke Pekalongan menuju Syamailul Huda.
Putra-putra pilihan itu ialah
- 1. Rd. Abdullah,[1] [1]
- 2. Rd. M.Zen,
- 3. Rd. Taefur Yusuf ,
- 4. Rd. Asy’ari,
- 5. Rd. Akung,
- 6. Rd. M. Soleh Qurowi
Ia-ia inilah yang termasuk murid-murid dakhiliyyah yang bermukim di
Internat (Pondok Pesantren) Syamailul Huda bersama-¬sama dengan
teman-temannya yang berjumlah sekitar 30 orang (dari Ambon, Menado,
Surabaya, Singapura, dan Malaysia/ daratan Malaka). Sahabat karib Rd.
Abdullah bin Nuh pada waktu itu, yang masih ada sekarang, Al Ustadz Said
bin Ahmad Bahuwairits (kelahiran Ambon) yang tinggal di alamat, JI.
Surabaya No. 69
Pekalongan,
Jawa Tengah Ia lebih tua usianya dan Rd. Abdullah bin Nuh, ia dilahirkan di
Ambon pada tahun 1904 (waktu di Syamailul Huda Rd. Abdullah bin Nuh kelas 3, AI Ustadz Said kelas 4).
Banyak sekali kata-kata mutiara yang diucapkannya. Ia memulai
percakapan dengan kata-kata: “Waktu saya berziarah ke rumah Abdullah
kebetulan waktu sholat Maghrib, saya tahu persis keadaan dalam rumahnya,
hanya dua kamar yang sempit dan satu kamar mandi yang darurat. Padahal
kalau melihat ilmunya, dan banyak murid-muridnya, dia itu orang besar,
sudah tidak sesuai lagi. Tidak seperti orang-orang besar sekarang
mobil-mobil banyak, gedung-gedungnya mewah, dengan rumah saya saja sudah
jauh berbeda “(rumah AI Ustadz Said itu gedung dan besar sekali).
Ia (AI Ustadz Said) melanjutkan dengan ucapan ia: “Maka dari gambaran
suasana rumahnya yang sangat sederhana itu, Masya Allah - Masya Allah -
Masya Allah, Abdullah sedang syugul lillahi Ta’ala, dia AZ-Zaahid”
- 1. Inilah Ulama, ini waktu, mencari seperti itu tidak ada ;
- 2. Abdullah tetap Abdullah sebagai Kiyai ;
- 3. Ini hidup yang benar ;
- 4. Ini thoriq (jalan) yang benar ;
- 5. Abdullah saudara saya
Ada beberapa Amanat-amanat ia kepada putra-putri AI-Ustadz Abdullah bin Nuh:
- 1. Berjalanlah menurut Abdullah bin Nuh ;
- 2. Ana ad’uu lahum (Aku berdoa untuk mereka);
- 3. Panggillah saya ‘aamii (anggaplah orang-tuanya) ;
- 4. Salam dari saya kepada keluarga Abdullah ;
- 5. Dan minta foto Abdullah setetah mendekat wafat
AI Ustadz Said bin Ahmad Bahuwairits memberi julukan kepada Rd. Abdullah bin Nuh dengan julukan:
Al Ustadz ,
AI-‘Aalim ;
Al-Adiib ;
Azzahid ;
Al-Mutawadli ;
AI-Haliim.
Madrasah Syamailul Huda ialah Samudra tempat menimba tinta mas Ilmu
Ilahi. Internatnya laksana ladang tempat mendulang berlian llmu Agama
Allah SWT. Maka tidak sedikit pentolan-pentolan Ulama dan pahlawan yang
dihasilkan dari Madrasah tersebut. Di antaranya yang berhasil dengan
gemilang dan menonjol sekali Rd. Abdullah bin Nuh, putra Cianjur,
sehingga ia menjadi kesayangan gurunya. Rd. Abdullah bin Nuh sewaktu
duduk di kelas 4 kelas terakhir Syamailul Huda, telah turut aktif
mengaji bersama-sama dengan para guru Madrasah tersebut. Jadi Rd.
Abdullah bin Nuh sudah lebih dahulu maju dari teman-teman kakak
kelasnya.
SURABAYA DAN HADROL MAUT SCHOOLNYA
Kota
Surabaya
ialah kota yang terkenal arek-areknya pada zaman revolusi fisik dan
jadi kebanggaan masyarakat Surabaya para patriotnya, dari kota 19 sampai
kedesa-desa. Kira-kira pada akhir tahun 1922 AI-Ustadz Sayyid Muhammad
bin Hasyim pindah ke Surabaya ; Rd. Abdullah bin Nuh dibawa dan
dikembangkan bakatnya.
Di Kota Surabaya pada waktu itu ada sebuah gedung besar dan tinggi
letaknya dekat jembatan besar di Jln. Darmokali (dulu Noyo Tangsi).
Penulis melihat di muka gedung itu sebelah atas ada tulisan tahun 1914
waktu didirikannya. Di gedung inilah Sayyid Muhammad bin Hasyim
mendirikan sekolah “Hadrolmaut School” untuk menyebar ilmunya dan
melatih anak-anak didik yang dibawanya dari Pekalongan, dalam rangka
mengembangkan bakat dan penampilan kemampu§n anak-anak didiknya
tersebut.
Hadrolmaut Shool di Surabaya laksana Masjid
Quba di
Madinah sewaktu Rosulullah saw mulai menginjakkan kakinya dibumi Madinatul Munawwaroh: Tempat
Rosulullah saw, mempersaudarakan ummat yang berbeda-beda bakat dan adat istiadat, tempat mempersatukan kaum
Muslimin yang bermacam-macam faham dan pendapatnya, tempat Rosulullah saw mengatur siasat; bermasyarakat dan lain-lain.
Gedung “Hadrolmaut School” ialah tempat Rd. Abdullah bin Nuh dan
teman-temannya dididik, dibina, digembleng cara praktek mengajar,
berpidato, memimpin dan lain-lain yang dipertukan. Rd. Abdullah bin Nuh
di samping diperbantukan mengajar di sekolah tersebut, ia tidak
henti-hentinya menyerap dan menerima bermacam-macam ilmu Agama dan Umum,
mempelajari beraneka ragam
bahasa
dari gurunya. Demikianlah keadaan Rd. Abdullah bin Nuh di kota
Surabaya, ia berjiwa arek-arek Suroboyo yang paling lincah berjuang.
Dengan ilmunya yang mendalam, jiwa yang suci dan kemauannya yang kuat,
maka ia terpilih sebagai siswa yang akan dibawa ke Mesir oleh gurunya
besama-sama dengan teman-temannya, sebanyak 15 orang.
Teman Rd. Abdulah bin Nuh yang bersama-sama belajar di Mesir yang
masih ada di Kota Surabaya sekarang, dialah AI-Ustadz Abdul Razak
AI-‘Amudi di kompleks IAIN Wonocolo. Ialah yang menyandang gelar:
Syahadatul Aalimiyah dari “Jami’atul Azhar” dan Deblum Daril ‘Ulumil
‘Ulya dari Madrasah Darul ‘Ulumul ‘Ulya.
MESIR DAN AL-AZHARNYA
Bertepatan dengan didudukinya Kota Makkah AL-Mukarromah oleh kaum Wahabiyyin dan keluarnya Malik Husen meninggalkan
Makkah
pada tahun 1343 H (± tahun 1925 M), AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh
bersama sama teman-temannya yang 15 orang itu dibawa gurunya ke Mesir
untuk melanjutkan pelajarannya. Perguruan Tinggi di Mesir pada waktu itu
hanya dua :
Jami’atul Azhar ( Syari’ah )
di Fakultas ini, lama belajarnya 6 tahun mendapat gelar :
Syahadatul ‘Alimiyah dan kalau belajar 3 tahun mendapat gelar : Syahadatul Ahliyyah.'
Madrasah Darul’ Ulum AI-‘Ulya (AI-Adaab)
Lama belajar 4 tahun mendapat gelar:
Deblum Daril ‘Ulumil ‘Ulya
Syarat-syarat masuk Jami’atul Azhar di antaranya harus hafal AI-Qur’an
30 Juz. Tetapi murid-murid yang dibawa oleh AI-Ustadz Sayyid Muhammad
bin Hasyim yang 15 orang itu mendapat prioritas diterima dengan hafal
beberapa surat. Pengecualian ini menunjukkan kebesaran dan keberkahan
murid-murid AI-Ustadz Sayyid Muhammad bin Hasyim. AI-Ustadz Rd. Abdullah
bin Nuh bersama-sama dengan teman-temannya mula-mula bertempat tinggal
di Syari’ul Hilmiyyah, lalu berpindah ke Syari’ul Bi’tsah Bi Midanil
Abbasiyah. Pelayannya orang-orang Yaman.
Siang dan malam AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh tidak henti-hentinya
belajar. Waktu adalah betul-betul berharga bagi betiau. Keluar dari
Jami’atul Azhar ia pulang hanya mengganti pakaian, memakai pantalon,
berdasi dan memakai torbus, terus mengikuti pengajian-pengajian di luar
AI-Azhar. Mahasiswa AI-Azhar mempunyai ciri khas ialah berjubah dan
bersorban dibalutkan dikepala (udeng).
AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh di Mesir sudah tidak mempelajari bahasa Arab lagi, karena ia ketika masih di
Indonesia
sudah benar-benar pandai dan ahli, mengusai berbagai bahasa. Ia di
Mesir hanya belajar fak Fiqih (ini menurut cerita ia kepada salah
seorang muridnya, katanya dalam bahasa Sunda Mama mah di Mesir teh mung
diajar ilmu fiqih wungkul”. Selanjutnya ia bertanya: “Dupi salira
kitab-kitab fiqih naon anu parantos diaos? Dijawab oleh muridnya dengan
menyebutkan beberapa kitab Fiqih. Setelah sampai menyebut kitab Iqna,
maka ia berkata: “Mama mah tamatna Iqna teh di Mesir, ari salira mah
tamat Iqna teh di Indonesia.”
Dengan berkah ketekunan dan kesungguh-sungguhan, maka AI-Ustadz
Abdullah bin Nuh di Mesir telah kelihatan sebagai seorang Pelajar yang
paling cakap di dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. AI-Ustadz Abdur
Rozzaq berpendapat: “Sebabnya Abdullah itu mempunyai kelainan daripada
teman-¬temanya yang semasa, karena dia mendapatkan banyak ilmu dari
hasil muthola’ah. Muthola’ah satu kitab saja sampai 10 kali. Inilah
syarat muthola’ah kata AI-Ustadz Abdullah bin Nuh. Di antara kitab yang
didawamkan muthola’ah ialah kitab: ARAB 2 AI-Ustadz Abdullah bin Nuh
belajar di Mesir hanya selama dua tahun, dikarenakan putra gurunya yang
ia temani tidak merasa betah dan gurunya pulang ke Hadrolmaut, maka
AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh pun pulang ke Indonesia. Inilah riwayat
hidup singkat ia masa belajar/ tholabul’ilmi atau masantren.
MADRASAH P.S.A.
Pada tahun 1927 AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh pulang dari Mesir ke
Indonesia (Cianjur. Pada akhir tahun 1927 pergi ke Bogor (Ciwaringin).
Ia mengajar: 1. Di Madrasah Islamiyyah yang didirikan oleh Mama Ajengan
Rd. Haji Manshur.2.Para Mu’allim yang berada di sekitar Bogor dikepalai
oleh Mualim H. Muhammad Arsyad Bin H. Imammudin dari bojong neros bogor.
Pada awal tahun 1928 ia pindah ke Semarang tetapi tidak lama yaitu
hanya 2 (dua) bulan, kemudian kembali ke Bogor. Lalu pulang lagi ke
Cianjur dan ia membantu (jadi guru bantu) mengajar di AI-I’anah, waktu
itu nadhirnya AI-Ustadz Rd. H.M. Sholeh AI-Madani (sekitar tahun 1930).
Setelah itu ia pergi lagi ke Bogor kedua kalinya dan bertempat tinggal
di Panaragan. Pekerjaan ia adalah:
- Mengajar para kyai
- Jadi korektor Percetakan IHTIAR (Inventaris S.I.)
Pada tahun 1934 di
Bogor
(di Ciwaringin) didirikan Madrasah P.S.A. (Penolong Sekolah Agama).
Maksud didirkannya PSA adalah untuk mempersatukan madrasah-madrasah yang
ada di sekitar Bogor yang berada di bawah asuhan Mama Ajengan Rd. H.
Manshur dengan mualim H. Muhammad Arsyad bin H. Imammudin.
Susunan Pengurus P.S.A. ialah :Ketua, Mama Ajengan Rd. H. Mansur,
Sekretaris M.B. Nurdin (Marah Bagindo), Inspektur K. Usman Perak. Ketua
Dewan Guru/ Direktur. AI-Ustadz Rd.H.Abdullah bin Nuh, Pembantu/
Sekretaris Rd. Ali Basah beserta H. Muhammad Arsyad Selain memimpin
madrasah-madrasah, juga AI-Ustadz mengajar di MULO (SLTP). Pada tahun
1939 Madrasah P.S.A, pindah ke jalan Bioskop (JI, Mayor Oking, yang
sekarang dipakai Mesjid) Dari tahun 1939 s.d 1942 ia tetap bertempat
tinggal di Panaragan dan setiap hari mengajar ngaji para Kyai. Walaupun
AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh ilmunya telah begitu banyak, tetapi
selama di Bogor ia masih terus menambah ilmunya dari seorang ulama
(Mufti Malaya) yaitu Sayyid ‘Ali bin Thohir dan Haji Muhammad Arysad
dari bojong neros.
PEJUANG KEMERDEKAAN
[2] [2]
Sejarah mencatat bahwa
PETA
lahir pada bulan Nopember 1943, lalu diikuti lahirnya HIZBULLAH
beberapa minggu kemudian di mana para alim ulama kemudian masuk menjadi
anggota organisasi itu. Tahun 1943 tersebut benar benar merupakan tahun
penderitaan yang amat berat khususnya bagi umat Islam dan bagi bangsa
Indonesia secara keseluruhan. Boleh dikatakan bahwa saat itu adalah
salah satu ujian paling berat bagi bangsa Indonesia. Pada akhir tahun
1943 itulah AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh masuk PETA dengan pangkat
DAIDANCO yang berasrama di Semplak Bogor.
Lalu pulang lagi ke Cianjur dan ia membantu (jadi guru bantu)
mengajar di AI-I’anah, waktu itu nadhirnya AI-Ustadz Rd. H.M. Sholeh
AI-Madani (sekitar tahun 1930). Setelah itu ia pergi lagi ke Bogor kedua
kalinya dan bertempat tinggal di Panaragan. Pekerjaan ia adalah: 1.
Mengajar para kyai. 2. Jadi korektor Percetakan IHTIAR (Inventaris S.I.)
Pemimpin-pemimpin umat ini, para alim ulama di sana-sini ditangkap
oleh Dai Nippon, di antaranya Hadlorotnya Syekh Hasyim Asy’ari pimpinan
Pondok Pesantren Tebu Ireng. Ia dipenjarakan di Bubutan, Surabaya. Di
Jawa Barat perlakuan serupa dilakukan terhadap KH. Zainal Mustofa,
Tasikmalaya, bahkan sampai gugurnya karena di siksa Dai Nippon. Ia
adalah Pemimpin Pondok Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya. Tanggal 6
Agustus 1945 senjata dahsyat bom atom dijatuhkan Amerika Serikat di atas
kota Hiroshima, disusul kemudian tanggal 9 Agustus born atom gelombang
kedua dijatuhkan pula di atas Nagasaki. Sekutu mengumandangkan
kemenangannya. Bangsa Indonesia saat itu sangat optimis dengan tekuk
lututnya Jepang terhadap sekutu. Ternyata pada tanggal
17 Agustus 1945
beberapa hari setelah pemboman terhadap kedua kota itu kita bangsa
Indonesia memperoleh hikmah, yaitu kemerdekaan yang diperoklamirkan oleh
Bung Karno dan
Bung Hatta. Apakah ini bukan rohmat dari Allah SWT?
Cobaan demi cobaan telah dan akan selalu kita hadapi. Pada tanggal 19
September 1945 di Surabaya terjadi peristiwa besar yang merupakan titik
awal yang menyulut semangat kepahlawanan rakyat Surabaya. Beberapa
personil Belanda yang saat itu membonceng sekutu berhasil menyamar
sebagai Missi Sekutu mengibarkan bendera merah putih biru di Hotel
Yamato, Tunjungan Surabaya. Kemudian personil Belanda lainnya setelah
tiba di Tanjung Priok merayap keseluruh pelosok Jawa di antaranya ke
Bandung, Yogya, Magelang dan Surabaya. ini merupakan tantangan berat
lagi bagi bangsa Indonesia. Namun rakyat tiada mengenal mundur atau
menyerah. Begitu pula AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh terus
melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan memimpin
barisan Hizbutlah dan BKRI TKR di kota Cianjur bersama-sama dengan
barisan lainnya hingga pertengahan tahun 1945.
Pada tanggal 21 Romadhon 1363 H/ 29 Agustus 1945 M, di Jakarta
dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNlP) dan sekaligus
melangsungkan sidang pertamanya. Ketua KNIP ditetapkan Mr. Kasman
Singodimedjo, salah seorang bakes Daidanco PETA Jakarta. Anggota KNIP di
antaranya adalah AI-¬Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh. Pada tanggal 4 Juni
1946 Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta.[pagebreak]
YOGYAKARTA DAN P.T.I. NYA (SEKARANG UII) Yogyakarta adalah sebuah
kota kecil yang mendadak menjadi ibukota Repbulik Indonesia dan pusat
segala kegiatan politik. Semenjak awal 1946, situasi politik terus
meningkat dan ketegangan serta pergolakan terjadi di mana-mana.
Yogyakarta amat berat memikul beban nasional di atas pundaknya. Namun
AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh adalah benar-benar seorang ulama
pejuang yang pandai membagi waktu. Walaupun tugas ia sangat berat,
sebagai tentara yang mewakili Jawa Barat dan anggota KNIP lainnya, namun
ia masih sempat mendirikan RRI Yogyakarta siaran bahasa Arab dan
kemudian mendirikan STI (Sekolah Tinggi Islam/ UII) bersama dengan KH.
Abdul Kohar Muzakkir.
Yang lebih unik lagi ialah tidak melupakan tugas kekiyaian, yaitu
mengajar ngaji. Hasil didikan ia waktu di Yogyakarta di antaranya adalah
Ibu Mursyidah dan AI-Ustadz Basyori Alwi, yang telah berhasil membuka
Pesantren yang megah di JI. Singosari No.90 dekat kota Malang, dan
banyak lagi Asatidz tempaan ia.
Pada bulan Desember 1948 Yogyakarta bezet (diduduki tentara Belanda).
Tentara RI mundur dari Kota Yogya dan terjadilah perang gerilya selama 6
bulan, mulai dari Desember 1948 s.d. Juni 1949. Perang gerilya ini
dilakukan pula oleh para pejabat, walaupun dia itu adalah seorang
Menteri. Pada bulan Juni itulah (tepatnya tanggal 5) AI-Ustadz Rd. H.
Abdullah bin Nuh menikah dengan Ibu Mursyidah, salah seorang puteri
didiknya yang telah disebut tadi.
Tanggal 29 Juni 1949 setelah tentara Belanda meninggalkan Yogyakarta,
pasukan Republik Indonesia yang sedang bergerilya bersama rakyat masuk
kembali ke Yogyakarta. Itu berarti bahwa, Yogyakarta kembali menjadi
Ibukota Republik Indonesia. Sejarah pertama kali mencatat, yaitu tanggai
17 Desember 1946, Bung Karno dilantik menjadi Presiden Republik
Indonesia Serikat dengan mengambil tempat di Keraton Yogyakarta.
Kemudian di akhir tahun 1949 Pemerintah RI pindah ke Jakarta, dan saat
itu pulalah AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh bersama ibu Mursyidah
(istrinya) hijrah ke Jakarta.
JAKARTA DAN UI-NYA
Setelah melalui liku-liku hidup dan mengarungi pasang surutnya
gelombang perjuangan, keluarga AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh menetap di
Jakarta selama lebih kurang 20 tahun, yaitu mulai tahun 1950 s.d. 1970,
Di Jakarta inilah ia menjadikan ibu kota sebagai arena pengabdiannya
kepada Allah SWT dan kepada hamba-Nya. Ia mengajar mengaji para asatidz/
Mu’allimin, memimpin Majlis-majlis Ta’lim, menjabat sebagai Kepala
Seksi Bahasa Arab pada Studio RRI Pusat. Selain itu juga aktif dalam
kantor berita APB (Arabian Press Board). Kemudian pernah pula menjadi
Dosen UI (Universitas Indonesia) bagian Sastra Arab, pemimpin Majalah
Pembina dan Ketua Lembaga Penyelidikan Islam.
Di samping itu pada tahun 1959 sebelum kepindahan ke Kota Bogor, ia
telah aktif memimpin pengajian-pengajian di Bogor, yaitu :1. Majlis
Ta’lim Sukaraja (AI-Ustadz Rd. Hidayat) 2. Majlis Ta’fim Babakan Sirna
(AI-Ustadz Rd. Hasan) 3. Majlis Ta’lim Gang Ardio (KH. Ilyas) 4. Majlis
Ta’lim Kebon Kopi (Mu’allim Hamim) Dan akhirnya pada tanggal 20 Mei 1970
Mama hijrah dari Jakarta ke Bogor.
MAMA DAN “AL-GHAZALY”
YIC “AI-Ghazaly” ialah Pusat Pendidikan Islam (Pesantren, Majlis
Ta’lim, sekolah umum dan madrasah Diniyah). “AI-Ghazaly” sudah tidak
asing lagi bagi Ummat Islam warga Bogor. YIC “AI-Ghazaly” memiliki empat
lokasi yaitu: AG I di Kotaparis , AG II di Cimanggu (H. Firdaus), AG
III di Cimanggu Perikanan dan AG IV di Cibogor. YIC “AI-Ghazaly” adalah
Mazro’atul Akhiroh (ladang akherat) Mama. Tempat Mama memberikan
pelajaran kepada para Ustadz dan kyai-kyai yang berada di sekitar Bogor,
bahkan ada pula yang datang dari Jakarta, Cianjur, Bandung dan
Sukabumi. Majlis-majlis Ta’lim yang ada dalam asuhan Mama adalah :
AI-Ghazaly (Kotaparis) AI-Ihya(Batu Tapak) Al-Khaeriyah (Bojong Neros)
AI-Husna (Layungsari) Nurul Imdad (Babakan Fakultas, belakang IPB)
Nahjussalam (Sukaraja).
Kesemuanya itu adalah tempat pengabdian Mama setelah usianya lanjut.
Bagi Mama tiada hari tanpa kuliah shubuh. Kegiatan rutin setiap
minggunya adalah hari Senin s.d. Kamis di Majlis Ta’lim AI-Ihya, Jumat
s.d. Ahad di AI-Ghazaly, sedangkan Ahad siang (ba’da dzuhur) di
Nahjussalam Sukaraja.
Selain itu, Mama juga mengadakan pengajian khusus untuk para pemuda
dan pelajar, mahasiswa/ mahasiswi. Demikian kegiatan Mama di
“AI-Ghazaly” yang tidak mengenal istirahat.
MAMA DAN “NAHJUSSALAM”
Nahjus Salam ialah Pesantren idaman Mama yang belum terlaksana dengan
sempurna dan tentunya.wajib kita tanjutkan sampai tuntas. Jauh sebelum
merencanakan “Nahjus Salam”, Mama pernah mengutarakan keinginannya
kepada salah seorang muridnya: “Mama ingin sekali punya Pesantren”.
Kemudian muridnya itu bertanya: “Didaerah mana Mama ingin mendirikan
Pesantren itu? Di Bogor Timur, Ciluar atau di Cianjur?” Mama menjawab:
Di Sukaraja. Muridnya masih penasaran, kemudian melanjutkan
pertanyaannya: “Kenapa ingin di Sukaraja?” Ia menjawab: Ingin dekat
dengan makam eyang Mama (Kanjeng Dalem) Melaksanakan amanat Mama Ajengan
Manshur (Bilamana Mama Ajengan Manshur wafat, harus diteruskan oleh
ia). Ingin istirahat total Penulis pada waktu itu tidak memperhatikan
akan arti dan kandungan obrolan Mama yang sebenarnya mendalam serta
penuh dengan isyarat itu.
Maka pada hari Sabtu tanggal 1 Muharram 1404 H, bertepatan dengan
tanggal 8 Oktober 1983, dimulailah pembangunan fisik Pesantren Nahjus
Salam yang diprakarsai oleh para putera Almarhum Rd. H. Jamhur
Ciwaringin Tanah Sewa beserta sesepuh dan warga Sukaraja AI-Ustadz
Hasanuddin. Bangunan Pesantren tersebut selesai pada akhir bulan Rajab
tahun itu juga. Peresmian yang langsung diisi oleh Mama dilaksanakan
hari Jum’at tanggal 25 Rajab 1404 H/ 27 April 1984, dan hari Ahad
tanggal 12-Sya’ban (lebih kurang 2 minggu setelah peresmian) dimulai
pengajian di Nahjus Salam.
Keinginan Mama selalu terkabul, sukses dan Barokah. Maunahnya mutai
nampak dan terlihat oleh khalayak ramai. Padahal menurut penulis setelah
mengamati dan selalu memperhatikan gerak-geriknya, Mama memiliki
keutamaan (kelebihan) ilmu, dan maunahnya telah terlihat dan terasa
sejak Mama mulai menetap di Bogor. Pernah penulis alami ketika pada
suatu kejadian yang membuktikan tentang itu.
Kira-kira tahun 1973 Mama bersama penulis berziarah kepada seorang
kyai yang telah dianggap wali oleh para Ulama yang tahu tentang keadaan
kyai itu. Ada tiga keanehan menurut penulis yang sangat mencolok pada
pribadi Mama saat itu: Pertama: Bukan Mama yang masuk ke kamar Kyai yang
sedang sakit berat itu, tetapi justru kyailah yang datang menemui Mama
di ruang tamu. Ke dua: Mama memohon didoakan oleh Kyai itu, tetapi
keadaan sebaliknya yang terjadi, yakni Kyailah yang meminta didoakan.
Akhirnya Mamalah yang berdoa. Kyai bersama penulis mengamini. Ke tiga:
Ketika Mama permisi, kyai itu mengantarkan sampai ke pintu gerbang
pekarangan rumahnya, sedangkan Kyai itu tidak pernah melakukannya
terhadap siapapun.
Dengan ketiga hal yang menurut penulis mengandung keanehan itu,
membuktikan bahwa derajat Mama sudah lain dari pada yang lain. Obrolan
Mama mengenai “ingin istirahat total” ini merupakan isyarat bahwa
kepulangan Mama ke Rahmatullah telah mendekat. Karena hanya wafatnya
hamba kekasih Allahlah yang termasuk dan boleh dikatakan “Istirahat
Total”. Permohonan Mama ingin istirahat total dikabulkan oleh Allah SWT.
Pada hari senin malam selasa, jam 19.15 WIB ba’da Isya, tanggal 26
Oktober 1987 bertepatan dengan tanggal 4 Robi’ul Awwal 1408 H ia pulang
ke Rahmatullah. “Innaa Lillaahi wa Inna Ilaihi Rooji’uuna”. Thoriqoh
Mama ada tiga: 1. Mengajar2. Muthola’ah 3. Mengarang.
Di mana saja Mama tinggal, Mama betah, asal Mama bisa menjalankan
yang tiga itu dengan tenang. Jadi jelaslah, pindahnya Mama dan satu
daerah ke daerah lain adalah termasuk : yang mudah-mudahan pulangnya
Mama ke Rahmatullah pun demikian adanya, hijrah kepada keridhoan Allah
SWT.
AMANAHNYA
Di dalam mengarungi dunia yang penuh dengan godaan dan sarat dengan
fitnah, Mama memberikan amanah kepada penulis tentang cara menghadapi
manusia-manusia di abad modern ini, yaitu harus berpendirian. Khumul =
Tidak ternama Malamih = Manampakkan roman muka Tawakal kepada Allah SWT.
Insya Allah selamat dari godaan dan fitnah.
AHLUL BAIT MAMA / KETURUNAN
Ibu Cianjur dan putra-putrinya:
Ibu Cianjur Ny. Rd. Mariyah (Alm.) putra-putrinya adalah:
Rd. Ahmad (Tangerang)
Rd. Wasilah (Almarhumah, Jakarta)
Rd. Hj. Romlah (Kotaparis, Bogor)
Rd. Hilal (Sukaraja, Bogor)
Rd. Hamid (Australia)
Ibu Bogor dan putra-putrinya :
Ibu Bogor adalah Dra. Hj. Mursyidah (Ummul Ghazaliyyin), Putra-putrinya adalah :
Rd. Aminah (almarhumah)
Rd. Aisyah (almarhumah)
Rd. Hj. Mariyam
Rd. Zahro (almarhumah)
Rd. Zulfa
Rd. H. Toto Mustofa
Ulama Kharismatik itu telah pulang ke Rahmatullah Akan menerima
keridhoan Allah Kita yang ditinggalkan Wajib melanjutkan Amanat Mama
kita laksanakan Thoriqoh Mama kita jalankanMudah-mudahan riwayat hidup
Mama yang ringkas ini menjadi cermin untuk kita semuanya kaum
muslimin-muslimat, baik tua maupun muda.
Karya-karya tulis
Karya-karya tulis dengan bahasa Indonesia yang berbentuk buku di antaranya, yaitu:
Al-Islam
Islam dan Materialisme
Islam dan Komunisme
Islam dan Pembahasan
Keutamaan Keluarga Rosulullah
Islam dan Dunia Modern
Risalah As-Syuro
Ringkasan Sejarah Wali Songo
Riwayat Hidup Imam Ahmad Muhajir
Sejarah[3] [3] - Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten
Pembahasan Tentang Ketuhanan
Wanita Dalam Islam
Zakat dan Dunia Modern
Karya-karya tulis dengan bahasa Arab yaitu berbentuk natsar (karangan bebas) dan syi’ir (puisi)
Selain mengarang K.H.R. Abdullah bin Nuh juga menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan Sunda.
Kitab-kitab yang ia terjemahkan kebanyakan karangan Imam AI-Ghazaly
yang ia kagumi. Di antara terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia
adalah:
- Renungan;
- O’Anak;
- Pembebasan dari Kesesatan;
- Cinta dan Bahagia;
- Menuju Mukmin Sejati (Minhajul-Abidin, karangan terakhir imam Ghazaly.
Adapun yang ia terjemahkan ke dalam bahasa Sunda di antaranya
berjudul: 1. Akhlaq; 2. Dzikir Sebagai seorang Ahli bahasa Arab, K.H.R.
Abdullah bin Nuh menyempatkan diri menyusun kamus bersama sahabatnya H.
Umar Bakry, di antara kamusnya adalah:
- Kamus Arab - Indonesia;
- Kamus Indonesia - Arab - Inggris;
- Kamus Inggris - Arab - Indonesia;
- Kamus Arab - Indonesia - Inggris;
- Kamus Bahasa Asing (Eropa), berkisar hubungan: - diplomatik politik- ekonomi, dll.
sumber