Minggu, 14 Desember 2014
Sajarah Urang Sunda
Kata
Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu
yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/
watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak /
karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener
(benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah
ada sejak jaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang Larang Abad
ke- 17, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000
tahun.
Sunda
merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau
Jawa dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia.
Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya
peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di
Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh,
Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda merupakan
kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak melakukan
ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan Sunda
telah melahirkan kerajaan- kerajaan besar di Nusantara diantaranya
Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan
Cirebon, Kerajaan Banten, dll.
Kerajaan
Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang
berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan
oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah
primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu
kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten,
Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan
naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan
Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi
tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad
ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford
University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah
timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali
Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi
Jawa Tengah.
Tome
Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515),
menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai
berikut: “Sementara
orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa.
Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga
Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda
tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.'
Menurut
Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang
saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga
Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan
Sunda oleh Selat Sunda.
Kerajaan
Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti
Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin
hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan
Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang
Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai
imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan
Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan
diri dari Kerajaan Sunda).
Sebelum
berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bagian dari
Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman
Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga
tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta.
Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi
Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda,
sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri
Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah
Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya,
Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702)
memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh
yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga
menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya
memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di
daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan
berjajar. Kurang lebih adalah Kotamadya Bogor saat ini. Sedangkan
Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja
Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka
(kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas
kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di
sebelah timur).
Putera
Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda,
meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa
ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai
seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu
dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara.
Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga,
teman dekat Tarusbawa.
Sena
adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja
Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh
oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu,
tapi lain ayah.
Sena
dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan
meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang,
Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk
memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian
hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang
Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora.
Saat
Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di
tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali.
Tahun
732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan /
Rarkyan Panaraban. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22
tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi
Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran.
Rahyang
Tamperan / RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun
(732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah
(dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga
(Hariang Banga) di Sunda.
Sang
Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27
tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi
Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai
putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di
Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.
Karena
anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada
menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh,
putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena
Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka
kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar
Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari
Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang
menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813).
Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu
Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang
oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat
tahun 891.
Sepeninggal
Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh,
Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari
Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke
putranya, Rakryan Windusakti.
Kekuasaan
ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading
(913). RAKRYAN KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun,
sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).
RAKRYAN JAYAGIRI berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942.
Melanjutkan
dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh
keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari
Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya,
Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari
Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri
(973-989).
Rakryan
Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang
(989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019).
Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke
cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri
Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur,
mertua raja Erlangga (1019-1042).
Dari
Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja
(1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154).
Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri
(1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari
Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya,
Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297).
Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi
kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali
lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal
Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar,
Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun
(1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu
Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh
keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya
mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke
menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu
Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan
diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357),
yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena
saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil,
kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu
Bunisora (1357-1371).
Sapeninggal
Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana,
Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun
(1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera
Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di
daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal
yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini
dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat
ayahnya masih berkuasa di daerah timur.
Dari
Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera
Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di
daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal
dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan
Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra
Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh
Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata,
kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535),
kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551),
Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu
Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin
kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang
oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, kerajaan Sunda
lainnya, di tahun 1579, yang mengalibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana
dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Sebelum
Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat
patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke
Sumedang Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk
meneruskan pemerintahan.
Kerajaan
Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama
Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah
Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang
mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung
yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong artinya
nampak dan Agung artinya luhur, memperlihatkan ke Agungan Yang Maha
Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Prabu Guru
Aji Putih memiliki putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian pada
masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti
menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun
madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil
dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang
yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal
dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan
Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu
Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap
sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama
Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang
Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung,
Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan
Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua
putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi
raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak
bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian
kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya
diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya).
Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda
(duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau
membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau
dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi
wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung
tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga
Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela.
Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung
dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera
keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan
keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah
Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling.
Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang
putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan
mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang
melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan
Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan
Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu
Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda,
putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas
Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata
(1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu
dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu
Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri, julukan Pangeran Santri
karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim.
Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang
Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang
Larang.
Pada
pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai
perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan
raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi
Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan
memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam
di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana
Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang
ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan
agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan
Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun
atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun,
ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Prabu
Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan
ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota
kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah
kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi
(Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu
Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya,
agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608,
putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol
I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan
kepemimpinannya.
Pada
masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh
Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan
Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama
Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada
saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum
meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan
Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat
Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga
Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja
Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti
benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih
tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang
menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah
Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang
Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun
pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten
(wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan
diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat
dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan
Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas.
Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai
Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut
Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara
politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu
Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan
pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi;
pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan
Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa
itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak
kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada
Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun
menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram. Prabu Geusan Ulun
merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya
menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Di
bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut
naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
Periode Salaka Nagara dan Taruma Nagara (Dewawarman - Linggawarman, 150 - 669).
0. Dewawarman I - VIII, 150 - 362
1. Jayasingawarman, 358-382
2. Dharmayawarman, 382-395
3. Purnawarman, 395-434
4. Wisnuwarman, 434-455
5. Indrawarman, 455-515
6. Candrawarman, 515-535
7. Suryawarman, 535-561
8. Kertawarman, 561-628
9. Sudhawarman, 628-639
10. Hariwangsawarman, 639-640
11. Nagajayawarman, 640-666
12. Linggawarman, 666-669
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)
Sumber:
-
Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java, From Taruma Nagara to
Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, tahun 2007.
- Saleh Danasasmita, Sajarah Bogor, Tahun 2000
- Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.
- Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
- Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
- Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.
Selasa, 09 Desember 2014
Sastra Sunda: Enam Belas Tokoh Sastra Sunda Berpengaruh
-- Deni Hadiansah*
SEJAUH dapat dilacak, buku atau penelitian tentang tokoh sastra Sunda yang telah diusahakan masih bisa dihitung jari. Sekadar contoh, penelitian Tini Kartini dkk. yang berjudul Biografi dan Karya Sastrawan Sunda Masa 1945-1965 (1978), Yuhana dengan Sastrawan Sunda (1979), Daéng Kanduruan Ardiwinata, Sastrawan Sunda (1979), dan Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa (1985). Juga Ajip Rosidi dengan Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana (1989). Adapun yang paling mutakhir adalah Ensiklopedi Sunda (2000) dan Apa Siapa Orang Sunda (2003) yang keduanya karya Ajip Rosidi dkk.
Dari dokumen yang sedikit itulah, untuk sementara dapat dibentangkan kiprah beberapa tokoh sastra Sunda. Menurut pengamatan saya, sedikitnya ada 16 tokoh yang berpengaruh dalam sastra Sunda yang mewakili zaman dan genre karya yang dihasilkannya. Adapun pemilihan dan penempatan urutan tokoh diniati hanya mengenalkan saja, tidak untuk menilai, apalagi mengesampingkan tokoh lain. Pertimbangannya pun didasarkan pada popularitas dan dominasi hasil karya yang besar pengaruhnya dalam jagat sastra Sunda.
Tokoh pertama dan kedua adalah P. H. H. Mustapa (1852-1930) dan Muh. Musa (1822-1886). Keduanya tokoh sastra Sunda terbesar pada zaman kolonial yang banyak menulis dangding dan wawacan. Sekitar tahun 1900-an, misalnya, P.H.H. Mustapa sempat menulis lebih dari 10.000 bait dangding yang kualitas literernya dianggap bermutu tinggi. Selain itu ia pun banyak menulis anekdot dan prosa. Namun kebesarannya baru disebut-sebut pada tahun 1950-an oleh Ajip Rosidi, yang selanjutnya memicu para peneliti untuk mendalaminya. Tahun 1965 P. H. H. Mustapa mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat dan pada tahun 1977 Presiden RI memberikan Anugerah Seni kepadanya sebagai sastrawan daerah Sunda.
Sedangkan Muh. Musa (1822-1886) adalah pelopor sastrawan Sunda pada paruh kedua abad 19. Karya-karyanya dalam bentuk wawacan (11 judul) dan prosa (33 judul), baik asli maupun terjemahan, banyak diterbitkan pemerintah kolonial pada waktu itu. Wawacan "Panji Wulung", merupakan salah satu karyanya yang cukup populer di masyarakat Sunda. Berkat jasa dan hubungannya yang baik dengan pemerintah kolonial, Muh. Musa sempat memperoleh medali emas. Muh. Musa pun banyak mengusahakan buku bacaan berbahasa Sunda. Menurut catatan Moriyama (2005), Muh. Musa sedikitnya menerbitkan 14 judul buku yang dicetak pada zaman pemerintah kolonial.
Tokoh ketiga dan keempat adalah D.K. Ardiwinata (1866-1947) dan Yuhana. Keduanya tokoh sastra Sunda pada zaman Balai Pustaka yang banyak menulis novel. Baruang ka nu Ngarora (1914) adalah novel pertama berbahasa Sunda yang ditulis oleh D.K. Ardiwinata. Selain itu ia pun menulis dongeng dan banyak menyadur karya-karya pengarang dunia.
Pemikirannya yang terpenting adalah bahwa orang Sunda harus banyak menulis prosa ketimbang puisi (dangding) yang sering kali merusak bahasa karena hendak memenuhi aturan pupuh. Adapun Yuhana (nama aslinya Achmad Bassach) adalah pengarang novel Sunda yang karya-karyanya setia diterbitkan oleh penerbit swasta. Tidak tercatat satu pun novelnya yang diterbitkan Balai Pustaka. Novel populernya yang pertama adalah Carios Eulis Acih (1923). Novel tersebut menuai sukses besar pada waktu itu dan sempat dibuat film. Setelah itu keluar novelnya yang lain, seperti Neng Yaya (1923), Agan Permas (1926), dan yang paling terkenal Rasiah nu Goréng Patut (1928) atau lebih dikenal dengan Karnadi Anémer Bangkong karena tokoh utamanya bernama Karnadi.
Novel ini dikarang bersama dengan Sukria serta pernah dibuat film. Hal yang membuat Yuhana dapat digolongkan sebagai pembaru sastra Sunda karena karya-karyanya dapat hidup di luar bayang-bayang Balai Pustaka. Meski berbeda gaya dalam berkarya, keduanya berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan novel.
Tokoh kelima dan keenam adalah GS dan Tini Kartini (lahir 1933-sekarang). Menurut M.A. Salmun, GS bernama lengkap G. Sastradiredja. Namun menurut R. Éro Bratakusumah, GS bernama lengkap G. Soewandakoesoemah. GS adalah pelopor penulisan cerpen berbahasa Sunda. Dogdog Pangréwong (1930) adalah kumpulan cerpennya yang pertama dalam bahasa Sunda dan merupakan kumpulan cerpen yang pertama terbit di Indonesia. Isinya delapan cerpen bernada humor yang dialog antartokohnya terasa hidup.
Selain menulis cerpen, GS pun menulis karangan lepas dalam majalah Parahiangan. Adapun Tini Kartini dapat disebutkan sebagai pengarang wanita cukup kuat dalam cerpen Sunda. Kumpulan cerpennya yang pertama terbit ialah Jurig!, Paméran, dan Nyi Karsih. Selain itu Tini Kartini banyak melakukan penelitian tentang sastra dan sastrawan Sunda. Meskipun keduanya berbeda zaman, namun dalam hal kepengarangannya, baik GS maupun Tini Kartini termasuk tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan cerpen.
Tokoh ketujuh dan kedelapan adalah Kis Ws (1922-1995) dan Sayudi (1932-2000). Keduanya pelopor dan pembaru dalam penulisan sajak Sunda. Kis Ws adalah orang Sunda pertama yang menulis sajak Sunda sekitar tahun 1950-an. Sempat terjadi polemik ketika sajaknya untuk pertama kali dimuat dalam Sk. Sipatahunan, karena pada waktu itu orang Sunda lebih mengenal dangding. Selain menulis sajak, Kis Ws pun banyak menulis cerpen dan esai. Adapun Sayudi banyak disebut sebagai penulis sajak epik pertama dalam sastra Sunda. Lalaki di Tegal Pati (1962) merupakan buku kumpulan sajak karya Sayudi dan pertama dalam sastra Sunda. Setelah itu Sayudi mengeluarkan kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Madraji (1983). Banyak ahli menyebutkan bahwa Madraji merupakan carita pantun modern, karena bentuknya seperti paduan antara sajak dan carita pantun. Kis Ws dan Sayudi merupakan tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan sajak.
Tokoh kesembilan dan kesepuluh adalah RAF (1929-2008) dan R.H. Hidayat Suryalaga (1941-sekarang). Keduanya sastrawan yang banyak menulis naskah drama, atau setidaknya mempunyai perhatian yang luas terhadap dunia teater. RAF (Haji Rahmatullah Ading Affandie) disebut-sebut sebagai pelopor dalam drama Sunda modern. Lewat jasa-jasanya kita pernah melihat gending karesmen dan drama berbahasa Sunda muncul pertama kalinya di layar kaca TVRI. "Inohong di Bojongrangkong" adalah judul sinetron (?) garapannya yang cukup melegenda dan sangat dipikalandep oleh penonton TVRI pada masanya. Ditayangkan sebulan sekali sampai 110 episode.
R.H. Hidayat Suryalaga banyak menulis naskah gending karesmen, longser, dan drama berbahasa Sunda. Penelitian Agus Suherman (1998) mencatat lebih dari 25 naskah gending karesmen, longser, dan drama yang sudah ditulis R.H. Hidayat Suryalaga. Di antara naskah drama yang paling kuat adalah "Sanghyang Tapak", "Cempor", dan "Setatsion Para Arwah". R.H . Hidayat Suryalaga termasuk tokoh yang memelopori berdirinya Teater Sunda Kiwari (1975) dan berhasil menerjemahkan Alquran ke dalam bentuk pupuh. Keduanya bolehlah disebut tokoh berpengaruh dalam penulisan naskah drama dan gending karesmen.
Tokoh kesebelas dan keduabelas adalah Ajip Rosidi (1938-sekarang) dan Duduh Durahman (1939-sekarang). Keduanya kritikus kuat dalam sastra Sunda. Ajip Rosidi dipandang sebagai tokoh kritis, frontal, dan pemberani dalam berpolemik. Banyak esai kritik yang telah ditulisnya, di antaranya dikumpulkan dalam buku Dur Panjak! (1967), Dengkleung Déngdék (1985), Hurip Waras! (1988), dan Trang-trang Koléntrang (1999). Selain itu Ajip Rosidi pun banyak berkiprah dalam dunia penerbitan. Namun pekerjaan raksasanya dalam dunia sastra Sunda antara lain penelitian tentang folklor dan pantun Sunda, penyusunan Ensiklopedi Sunda, pemrakarsa Konferensi Internasional Budaya Sunda I, dan sejak tahun 1989 secara rutin memberikan Hadiah Rancagé untuk sastrawan berbahasa Sunda.
Adapun Duduh Durahman, banyak menulis kritik terhadap sastra Sunda. Karya kritiknya telah dikumpulkan dalam Catetan Prosa Sunda (1984) dan Sastra Sunda Sausap Saulas (1991). Selain itu Duduh Durahman pun banyak menulis cerpen dan setia mengasuh rubrik sastra di majalah Manglé. Duduh Durahman pun dikenal sebagai aktor dan kritikus film. Maka meskipun tidak sejajar dalam produktivitas berkarya dan aktivitas kegiatan, keduanya tokoh berpengaruh terutama dalam penulisan kritik sastra.
Tokoh ketigabelas dan keempatbelas adalah Wahyu Wibisana (1935-sekarang) dan Yus Rusyana (1938-sekarang). Keduanya praktisi sekaligus akademisi sastra Sunda yang banyak menulis sajak, prosa, maupun drama dalam bahasa Sunda. Sebagai akademisi, keduanya memang seorang pendidik dan peneliti. Wahyu Wibisana, misalnya, pernah menjadi guru SD dan dosen tamu di IKIP Bandung. Selain itu Wahyu pun banyak melakukan penelitian dalam bidang sastra Sunda, menyusun kurikulum mata pelajaran bahasa dan sastra Sunda, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menulis berbagai makalah tentang sastra Sunda yang disampaikan dalam forum pendidikan.
Yus Rusyana adalah guru besar bahasa dan sastra Indonesia dan Sunda pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Banyak melakukan penelitian, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menyampaikan prasaran dalam forum ilmiah. Beliaulah sastrawan Sunda yang pertama mendapat hadiah Rancagé lewat karyanya Jajatén Ninggang Papastén (1989). Selain sebagai sastrawan, keduanya dapat ditempatkan sebagai tokoh akademisi dalam sastra Sunda.
Tokoh kelimabelas dan keenambelas adalah Godi Suwarna (1956-sekarang) dan Etty R.S. (1958-sekarang). Keduanya pengarang sajak Sunda yang sangat potensial. Godi Suwarna pernah menggemparkan jagat Sunda berkat sajak-sajaknya yang dekonsturktif. Kata-kata dalam sajak-sajak Godi punya idiom bahasa Sunda yang khas. Idiom tersebut merupakan paduan antara bahasa Sunda lulugu, dialek, dan populer. Selain piawai menulis, Godi juga sangat terampil membaca sajak.
Adapun Etty R.S. merupakan pengarang wanita dalam sajak Sunda yang kuat dalam memilih diksi. Sajak-sajaknya realistis dan sedikit arkhais. Banyak yang menyatakan bahwa Etty pelopor pengarang wanita dalam menulis sajak Sunda kontemporer. Baik Godi maupun Etty R.S., keduanya merupakan pelopor dalam penulisan sajak Sunda kontemporer. Di tangan Godi dan Etty, sajak Sunda dapat disukai oleh remaja dan anak-anak sekolah. Terbukti dalam setiap perlombaan deklamasi sajak Sunda antarpelajar, sajak Godi dan Etty selalu menjadi sajak wajib untuk dideklamasikan.
Itulah 16 tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda. Dari jumlah tersebut, beberapa di antaranya sempat mendapat hadiah Rancagé, Yus Rusyana untuk karya (1989) dan jasa (2000), RAF untuk karya (1991) dan jasa (1998), Godi Suwarna untuk karya (1993, 1996, 2008), Kis Ws untuk jasa (1993), Sayudi untuk jasa (1994), Etty RS untuk karya (1995), Wahyu Wibisana untuk jasa (1997), Duduh Durahman untuk jasa (1999), dan Tini Kartini untuk jasa (2003).
Sebenarnya masih banyak tokoh sastra Sunda lainnya yang berpengaruh. Sebutlah, antara lain R. Méméd Sastrahadiprawira, Moh. Ambri, Ki Umbara, Sjarif Amin, Muh. Rustandi Kartakusuma, Abdullah Mustapa, Yoseph Iskandar, H. Rusman Sutiasumarga, Dedy Windyagiri, Holisoh MÉ, dan Tatang Sumarsono. Dengan demikian, maka apa yang dapat dilakukan? Kiranya harus ada tulisan tentang 100 tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda. ***
* Deni Hadiansah, Mahasiswa S-2 Kajian Sastra Kontemporer Unpad Bandung, pengasuh acara "Ngamumulé Basa Sunda" di RRI Bandung, aktif di Yayasan Atikan Sunda (YAS) Bandung.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 24 Mei 2008
SEJAUH dapat dilacak, buku atau penelitian tentang tokoh sastra Sunda yang telah diusahakan masih bisa dihitung jari. Sekadar contoh, penelitian Tini Kartini dkk. yang berjudul Biografi dan Karya Sastrawan Sunda Masa 1945-1965 (1978), Yuhana dengan Sastrawan Sunda (1979), Daéng Kanduruan Ardiwinata, Sastrawan Sunda (1979), dan Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa (1985). Juga Ajip Rosidi dengan Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana (1989). Adapun yang paling mutakhir adalah Ensiklopedi Sunda (2000) dan Apa Siapa Orang Sunda (2003) yang keduanya karya Ajip Rosidi dkk.
Dari dokumen yang sedikit itulah, untuk sementara dapat dibentangkan kiprah beberapa tokoh sastra Sunda. Menurut pengamatan saya, sedikitnya ada 16 tokoh yang berpengaruh dalam sastra Sunda yang mewakili zaman dan genre karya yang dihasilkannya. Adapun pemilihan dan penempatan urutan tokoh diniati hanya mengenalkan saja, tidak untuk menilai, apalagi mengesampingkan tokoh lain. Pertimbangannya pun didasarkan pada popularitas dan dominasi hasil karya yang besar pengaruhnya dalam jagat sastra Sunda.
Tokoh pertama dan kedua adalah P. H. H. Mustapa (1852-1930) dan Muh. Musa (1822-1886). Keduanya tokoh sastra Sunda terbesar pada zaman kolonial yang banyak menulis dangding dan wawacan. Sekitar tahun 1900-an, misalnya, P.H.H. Mustapa sempat menulis lebih dari 10.000 bait dangding yang kualitas literernya dianggap bermutu tinggi. Selain itu ia pun banyak menulis anekdot dan prosa. Namun kebesarannya baru disebut-sebut pada tahun 1950-an oleh Ajip Rosidi, yang selanjutnya memicu para peneliti untuk mendalaminya. Tahun 1965 P. H. H. Mustapa mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat dan pada tahun 1977 Presiden RI memberikan Anugerah Seni kepadanya sebagai sastrawan daerah Sunda.
Sedangkan Muh. Musa (1822-1886) adalah pelopor sastrawan Sunda pada paruh kedua abad 19. Karya-karyanya dalam bentuk wawacan (11 judul) dan prosa (33 judul), baik asli maupun terjemahan, banyak diterbitkan pemerintah kolonial pada waktu itu. Wawacan "Panji Wulung", merupakan salah satu karyanya yang cukup populer di masyarakat Sunda. Berkat jasa dan hubungannya yang baik dengan pemerintah kolonial, Muh. Musa sempat memperoleh medali emas. Muh. Musa pun banyak mengusahakan buku bacaan berbahasa Sunda. Menurut catatan Moriyama (2005), Muh. Musa sedikitnya menerbitkan 14 judul buku yang dicetak pada zaman pemerintah kolonial.
Tokoh ketiga dan keempat adalah D.K. Ardiwinata (1866-1947) dan Yuhana. Keduanya tokoh sastra Sunda pada zaman Balai Pustaka yang banyak menulis novel. Baruang ka nu Ngarora (1914) adalah novel pertama berbahasa Sunda yang ditulis oleh D.K. Ardiwinata. Selain itu ia pun menulis dongeng dan banyak menyadur karya-karya pengarang dunia.
Pemikirannya yang terpenting adalah bahwa orang Sunda harus banyak menulis prosa ketimbang puisi (dangding) yang sering kali merusak bahasa karena hendak memenuhi aturan pupuh. Adapun Yuhana (nama aslinya Achmad Bassach) adalah pengarang novel Sunda yang karya-karyanya setia diterbitkan oleh penerbit swasta. Tidak tercatat satu pun novelnya yang diterbitkan Balai Pustaka. Novel populernya yang pertama adalah Carios Eulis Acih (1923). Novel tersebut menuai sukses besar pada waktu itu dan sempat dibuat film. Setelah itu keluar novelnya yang lain, seperti Neng Yaya (1923), Agan Permas (1926), dan yang paling terkenal Rasiah nu Goréng Patut (1928) atau lebih dikenal dengan Karnadi Anémer Bangkong karena tokoh utamanya bernama Karnadi.
Novel ini dikarang bersama dengan Sukria serta pernah dibuat film. Hal yang membuat Yuhana dapat digolongkan sebagai pembaru sastra Sunda karena karya-karyanya dapat hidup di luar bayang-bayang Balai Pustaka. Meski berbeda gaya dalam berkarya, keduanya berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan novel.
Tokoh kelima dan keenam adalah GS dan Tini Kartini (lahir 1933-sekarang). Menurut M.A. Salmun, GS bernama lengkap G. Sastradiredja. Namun menurut R. Éro Bratakusumah, GS bernama lengkap G. Soewandakoesoemah. GS adalah pelopor penulisan cerpen berbahasa Sunda. Dogdog Pangréwong (1930) adalah kumpulan cerpennya yang pertama dalam bahasa Sunda dan merupakan kumpulan cerpen yang pertama terbit di Indonesia. Isinya delapan cerpen bernada humor yang dialog antartokohnya terasa hidup.
Selain menulis cerpen, GS pun menulis karangan lepas dalam majalah Parahiangan. Adapun Tini Kartini dapat disebutkan sebagai pengarang wanita cukup kuat dalam cerpen Sunda. Kumpulan cerpennya yang pertama terbit ialah Jurig!, Paméran, dan Nyi Karsih. Selain itu Tini Kartini banyak melakukan penelitian tentang sastra dan sastrawan Sunda. Meskipun keduanya berbeda zaman, namun dalam hal kepengarangannya, baik GS maupun Tini Kartini termasuk tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan cerpen.
Tokoh ketujuh dan kedelapan adalah Kis Ws (1922-1995) dan Sayudi (1932-2000). Keduanya pelopor dan pembaru dalam penulisan sajak Sunda. Kis Ws adalah orang Sunda pertama yang menulis sajak Sunda sekitar tahun 1950-an. Sempat terjadi polemik ketika sajaknya untuk pertama kali dimuat dalam Sk. Sipatahunan, karena pada waktu itu orang Sunda lebih mengenal dangding. Selain menulis sajak, Kis Ws pun banyak menulis cerpen dan esai. Adapun Sayudi banyak disebut sebagai penulis sajak epik pertama dalam sastra Sunda. Lalaki di Tegal Pati (1962) merupakan buku kumpulan sajak karya Sayudi dan pertama dalam sastra Sunda. Setelah itu Sayudi mengeluarkan kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Madraji (1983). Banyak ahli menyebutkan bahwa Madraji merupakan carita pantun modern, karena bentuknya seperti paduan antara sajak dan carita pantun. Kis Ws dan Sayudi merupakan tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda, terutama dalam penulisan sajak.
Tokoh kesembilan dan kesepuluh adalah RAF (1929-2008) dan R.H. Hidayat Suryalaga (1941-sekarang). Keduanya sastrawan yang banyak menulis naskah drama, atau setidaknya mempunyai perhatian yang luas terhadap dunia teater. RAF (Haji Rahmatullah Ading Affandie) disebut-sebut sebagai pelopor dalam drama Sunda modern. Lewat jasa-jasanya kita pernah melihat gending karesmen dan drama berbahasa Sunda muncul pertama kalinya di layar kaca TVRI. "Inohong di Bojongrangkong" adalah judul sinetron (?) garapannya yang cukup melegenda dan sangat dipikalandep oleh penonton TVRI pada masanya. Ditayangkan sebulan sekali sampai 110 episode.
R.H. Hidayat Suryalaga banyak menulis naskah gending karesmen, longser, dan drama berbahasa Sunda. Penelitian Agus Suherman (1998) mencatat lebih dari 25 naskah gending karesmen, longser, dan drama yang sudah ditulis R.H. Hidayat Suryalaga. Di antara naskah drama yang paling kuat adalah "Sanghyang Tapak", "Cempor", dan "Setatsion Para Arwah". R.H . Hidayat Suryalaga termasuk tokoh yang memelopori berdirinya Teater Sunda Kiwari (1975) dan berhasil menerjemahkan Alquran ke dalam bentuk pupuh. Keduanya bolehlah disebut tokoh berpengaruh dalam penulisan naskah drama dan gending karesmen.
Tokoh kesebelas dan keduabelas adalah Ajip Rosidi (1938-sekarang) dan Duduh Durahman (1939-sekarang). Keduanya kritikus kuat dalam sastra Sunda. Ajip Rosidi dipandang sebagai tokoh kritis, frontal, dan pemberani dalam berpolemik. Banyak esai kritik yang telah ditulisnya, di antaranya dikumpulkan dalam buku Dur Panjak! (1967), Dengkleung Déngdék (1985), Hurip Waras! (1988), dan Trang-trang Koléntrang (1999). Selain itu Ajip Rosidi pun banyak berkiprah dalam dunia penerbitan. Namun pekerjaan raksasanya dalam dunia sastra Sunda antara lain penelitian tentang folklor dan pantun Sunda, penyusunan Ensiklopedi Sunda, pemrakarsa Konferensi Internasional Budaya Sunda I, dan sejak tahun 1989 secara rutin memberikan Hadiah Rancagé untuk sastrawan berbahasa Sunda.
Adapun Duduh Durahman, banyak menulis kritik terhadap sastra Sunda. Karya kritiknya telah dikumpulkan dalam Catetan Prosa Sunda (1984) dan Sastra Sunda Sausap Saulas (1991). Selain itu Duduh Durahman pun banyak menulis cerpen dan setia mengasuh rubrik sastra di majalah Manglé. Duduh Durahman pun dikenal sebagai aktor dan kritikus film. Maka meskipun tidak sejajar dalam produktivitas berkarya dan aktivitas kegiatan, keduanya tokoh berpengaruh terutama dalam penulisan kritik sastra.
Tokoh ketigabelas dan keempatbelas adalah Wahyu Wibisana (1935-sekarang) dan Yus Rusyana (1938-sekarang). Keduanya praktisi sekaligus akademisi sastra Sunda yang banyak menulis sajak, prosa, maupun drama dalam bahasa Sunda. Sebagai akademisi, keduanya memang seorang pendidik dan peneliti. Wahyu Wibisana, misalnya, pernah menjadi guru SD dan dosen tamu di IKIP Bandung. Selain itu Wahyu pun banyak melakukan penelitian dalam bidang sastra Sunda, menyusun kurikulum mata pelajaran bahasa dan sastra Sunda, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menulis berbagai makalah tentang sastra Sunda yang disampaikan dalam forum pendidikan.
Yus Rusyana adalah guru besar bahasa dan sastra Indonesia dan Sunda pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Banyak melakukan penelitian, menulis buku pelajaran sastra Sunda, dan menyampaikan prasaran dalam forum ilmiah. Beliaulah sastrawan Sunda yang pertama mendapat hadiah Rancagé lewat karyanya Jajatén Ninggang Papastén (1989). Selain sebagai sastrawan, keduanya dapat ditempatkan sebagai tokoh akademisi dalam sastra Sunda.
Tokoh kelimabelas dan keenambelas adalah Godi Suwarna (1956-sekarang) dan Etty R.S. (1958-sekarang). Keduanya pengarang sajak Sunda yang sangat potensial. Godi Suwarna pernah menggemparkan jagat Sunda berkat sajak-sajaknya yang dekonsturktif. Kata-kata dalam sajak-sajak Godi punya idiom bahasa Sunda yang khas. Idiom tersebut merupakan paduan antara bahasa Sunda lulugu, dialek, dan populer. Selain piawai menulis, Godi juga sangat terampil membaca sajak.
Adapun Etty R.S. merupakan pengarang wanita dalam sajak Sunda yang kuat dalam memilih diksi. Sajak-sajaknya realistis dan sedikit arkhais. Banyak yang menyatakan bahwa Etty pelopor pengarang wanita dalam menulis sajak Sunda kontemporer. Baik Godi maupun Etty R.S., keduanya merupakan pelopor dalam penulisan sajak Sunda kontemporer. Di tangan Godi dan Etty, sajak Sunda dapat disukai oleh remaja dan anak-anak sekolah. Terbukti dalam setiap perlombaan deklamasi sajak Sunda antarpelajar, sajak Godi dan Etty selalu menjadi sajak wajib untuk dideklamasikan.
Itulah 16 tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda. Dari jumlah tersebut, beberapa di antaranya sempat mendapat hadiah Rancagé, Yus Rusyana untuk karya (1989) dan jasa (2000), RAF untuk karya (1991) dan jasa (1998), Godi Suwarna untuk karya (1993, 1996, 2008), Kis Ws untuk jasa (1993), Sayudi untuk jasa (1994), Etty RS untuk karya (1995), Wahyu Wibisana untuk jasa (1997), Duduh Durahman untuk jasa (1999), dan Tini Kartini untuk jasa (2003).
Sebenarnya masih banyak tokoh sastra Sunda lainnya yang berpengaruh. Sebutlah, antara lain R. Méméd Sastrahadiprawira, Moh. Ambri, Ki Umbara, Sjarif Amin, Muh. Rustandi Kartakusuma, Abdullah Mustapa, Yoseph Iskandar, H. Rusman Sutiasumarga, Dedy Windyagiri, Holisoh MÉ, dan Tatang Sumarsono. Dengan demikian, maka apa yang dapat dilakukan? Kiranya harus ada tulisan tentang 100 tokoh berpengaruh dalam sastra Sunda. ***
* Deni Hadiansah, Mahasiswa S-2 Kajian Sastra Kontemporer Unpad Bandung, pengasuh acara "Ngamumulé Basa Sunda" di RRI Bandung, aktif di Yayasan Atikan Sunda (YAS) Bandung.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 24 Mei 2008
Hati Orang Sunda Ada di Wahyu Wibisana
dokumentasi
Wahyu Wibisana (berkemeja batik biru) bersama sastrawan Ajip Rosidi lawan debatnya dan Rektor UPI Prof Dr Soenaryo Kartadinata.
dokumentasi keluarga
Wahyu Wibisana, sastrawan Sunda paling berbakat bersama cucunya
dokumentasi keluarga
Wahyu Wibisana bersama istrinya Utju Sukaesih
dokumentasi
Wahyu Wibisana (berkemeja batik biru) bersama sastrawan Ajip Rosidi lawan debatnya dan Rektor UPI Prof Dr Soenaryo Kartadinata.
dokumentasi keluarga
Wahyu Wibisana, sastrawan Sunda paling berbakat bersama cucunya
SOROT matanya yang tajam dan raut muka yang menyelidik dengan dahi mengerenyit, sudah tentu membuat orang yang dipandangnya akan gentar, bahkan takut. Apalagi anak muda yang baru mengenalnya.
Namun, begitu kita mengenalnya, ia adalah sosok yang penuh perhatian, bersedia "ngaping" alias membimbing pada siapa pun tanpa pilih bulu. Tak heran kalau pada awalnya takut, malah menjadi rindu untuk selalu bertemu. Soal wibawa, ia memang sosok yang disegani siapa pun.
Wahyu Wibisana, nama yang sangat dikenal dan disegani dalam jagat sastra, bahasa dan kesenian Sunda. Kepergiannya pada Senin (13/1) pukul 00.30 tadi malam di RS Al Islam, Bandung, membuat banyak orang tersentak, sedih, dan merasa kehilangan. Walaupun beberapa orang tahu akhir-akhir ini Wahyu ke luar masuk rumah sakit karena penyakit yang dideritanya, tetap saja kepergiannya menyentak.
Ratusan orang yang sempat jadi jadi murid, sahabat, teman diskusi, bahkan lawan debat mengantar jenazah Wahyu ke peristirahatan terakhir di kampung halamannya, di Cisayong Tasikmalaya, kemarin siang. Tampak seniman Godi Suwarna yang menangis tak henti-henti, Hawe Setiawan, Usep Romli, Darpan, Hadi Aks, serta sejumlah sahabat almarhum dari berbagai perguruan tinggi dan kalangan. Wahyu dimakamkan dekat makam ibu bapak dan kakaknya di belakang rumah masa kecilnya.
Di mata para pengarang Sunda, Wahyu adalah sastrawan serba bisa dan paling lengkap. Ia tokoh yang dikenal sangat keras dalam menerapkan disiplin berkesenian dan bekerja.
"Bagi saya Wahyu seniman paling lengkap dan serba bisa. Saya sangat kehilangan," kata Etti RS, sastrawan peraih hadiah sastra Rancage yang tak bisa menyembunyikan rasa dukanya sehabis melayat ke rumah duka di Jalan Geger Kalong Tengah, Bandung, kemarin.
Siapa pun yang pernah bekerja sama dengan Wahyu, pasti sempat terkena marah. Namun semua orang menafsirkan marahnya Wahyu itu sebagai kasih sayang dan bentuk penegakan disiplin dan kerja keras agar hasil kerja kesenian itu prima dan tidak mengecewakan. Banyak orang-orang yang dekat dan pernah bekerja sama dengan Wahyu Wibisana mencapai sukses, sebut saja Godi Suwarna, Hadi AKS, Darpan. Ketiganya merupakan sastrawan yang ikut mewarnai khazanah sastra Sunda. Godi dan Darpan bahkan pernah menyabet hadiah sastra Sunda.
Banyak sekali karya-karya Wahyu Wibisana yang fenomenal dan luar biasa, baik karya sastranya seperti sajak dan cerpen (carpon), gending karesmen (drama suara), teater, kawih maupun syair dalam tembang Sunda.
Di antara karya gending karesmen yang mampu mempesona penonton dan menjadi buah bibir, antara lain "Munding Laya Saba Langit", "Galunggung Ngadeg Tumenggung", dan "Si Kabayan", sedangkan drama suara bagi anak-anak yang sangat menyentuh dan menguras air mata, yaitu yang berjudul "Geber-geber Hihid Aing".
Beberapa karya dramanya yang sering dipentaskan hingga kini oleh grup Teater Sunda Kiwari adalah "Tonggeret Banen" dan "Tukang Asahan".
Karya dalam bentuk sajak yang sudah dibukukan, yaitu "Urang Naon di Cinaon", "Kembang Katiga" dan "Riring-riring Tjiawaking". Sedangkan dalam bentuk prosa atau cerita pendek yang paling terkenal, antara lain "Dehem" dan "Kawung Ratu".
Keunggulan karya Wahyu itu hampir semuanya, dalam genre apa pun, mampu menghayati dan merasuki batin yang dirasakan orang Sunda. Cobalah dengarkan lagu "Kembang Tanjung Panineungan", lagu yang diaransemen Mang Koko berdasarkan syair karya Wahyu ini sangat menggetarkan. Lagu ini berkisah tentang istri yang tengah mengandung ditinggalkan suaminya pergi ke medan pagar betis berjuang menghadapi masa-masa pemberontakan di Jawa Barat dan suaminya itu tewas. Kandungan lagu ini sangat relijius dan yang mendengarkan akan semakin menyayangi keluarganya dan betapa berharganya perjuangan sang suami.
Sebaliknya, dalam lagu yang kasmaran pun, Wahyu mampu membangkitkan asmara bagi yang mendengarnya. Misalnya kawih "Malati di Gunung Guntur" yang dianggit Mang Koko. Begitu pula lagu panambih dalam tembang Sunda yang berjudul "Bungur Jalan ka Cianjur".
Menurut Darpan, sastrawan yang cukup dekat dengan Wahyu, karya-karya Wahyu kalau membicarakan asmara, maka yang mendengar atau membaca karyanya akan merasakan getar asmara. Coba saja baca cerita pendeknya berjudul "Dehem", kita bukan saja menemukan kisah asmara dalam cerpen itu, tapi ikut merasakan getarannya.
Begitu pula karya yang mengisahkan kasih sayang anak-anak, seperti dalam drama suara "Geber-geber Hihid Aing", maka kita akan merasakan betapa karya itu bisa menggetarkan bukan saja anak-anak, tapi juga orang dewasa.
"Kalau mengutip pendapat sahabatnya, Yus Rusyana, visi misi Sunda itu ada di Ajip Rosidi, maka hatinya orang Sunda itu ada di Wahyu Wibisana," kata Darpan yang ikut mengantar jenazah ke Cisayong.
Hawe Setiawan, doktor seni lulusan ITB, berpendapat, Wahyu adalah monumen dalam sastra dan bahasa Sunda yang sampai saat ini belum tertandingi siapa pun.
"Dalam karya Wahyu, orang Sunda menemukan daya ungkap yang tepat," kata Hawe, yang menurutnya motto Silih Asah, Silih Asuh, Silih Asih pun merupakan motto karya Wahyu Wibisana
sumber
Karya-Karya Wahyu Wibisana Pieunteungeun Urang Sunda
Sumber Inspirasi Itu Telah Tiada
SEMUA seniman dan sastrawan Sunda berduka atas meninggalnya “mahaguru” pengarang Sunda, Kang Wahyu Wibisana Senin (13/10/2014).
Begitu juga kalangan pengajar di Kabupaten Tasikmakaya merasa kehilangan sosok sastrawan Sunda yang banyak memberi inspirasi di bidang pendidikan.
“Ngiring bela sungkawa, mudah-Mudahan Kang Wahyu kenging rohmat Alloh, karya Karya Kang Wahyu janten pieunteungeun urang Sunda,” kata Ketua PGRI Kabupaten Tasikmalaya, H Yedi Kusmayadi Senin (13/11/2014)
Sebagai seorang pimpinan dalam organisasi besar pengajar, Yedi mengaku sangat kehilangan dengan meninggalnya Mahaguru Sastra Sunda tersebut.
“Mudah-mudahan sing aya nu neraskeun, sangkan ajen-inajen Sunda tetep aya, teu pareumeun obor,” katanya lagi.
Apalagi karya sastra Kang Wahyu banyak dijadikan model dan inspirasi dalam mengajarkan tatakrama atau etika kepada siswa di sekolah oleh para pengajar, di samping jiga mengajarkan budaya, sastra dan bahasa sunda.
“Karya-karya Kang Wahyu Wibisana yang dimuat di Majalah Mangle sering kami jadikan referensi dalam memberika pelajaran kepada siswa mengenai budaya dan bahasa Sunda,” ujarnya.
Kata dia, dalam bidang ilmu sastra Sunda, kang wahyu sudah sangat tinggi ilmu pengetahuannya atau “adiluhung” dan tiada bandingannya sebagai seorang sastrawan Sunda.
Karya peninggalannya, kata Yedi bisa dijadikan pijakan dalam melestarikan budaya dan sastra sunda yang kondisinya saat ini sudah berada di persimpangan jalan.
Banyak anak muda yang merupakan keturunan sunda tetapi tidak bisa berbicara sunda.
Sehingga butuh penerus Kang Wahyu sehingga di masa depan akan tumbuh 1000 kang Wahyu baru yang melestarikan budaya dan sastra Sunda.
Banyak yang kehilangan atas meninggalnya tokoh Sastra Sunda tersebut bukan hanya kaum pengajar.
Kuncen Fiksimini Basa Sunda (FBS) dalam laman Facebook yang dikelolanya menulis kalimat perpisahan yang cukup menyayat perasaan.
“ WILUJENG ANGKAT, MAHAGURU....
Tos mulang
ka Kalanggengan:
Kang Wahyu Wibisana, Mahaguru sakabéh pangarang Sunda, nu teu weléh numuwuhkeun karancagé dina molah makayakeun basa titinggal karuhun.
Wilujeng angkat, Kakang...
Warnaning karya salira baris manjang kumalangkang dina ringkang sastra Sunda ti kiwari tug ka jaga. Rupining piwuruk Kakang bakal manjang run tumurun tina manah kana manah urang Sunda nu rancagé.
Bukan hanya kalimat bela sungkawa saja yang ditulis sang kuncen FBS, tetapi juga ditambah dengan sebuah sajak berjudul jalan Satapak “Wilujeng miang, Kakang.... Mung iasa jajap ku sakotrét sajak JALAN SATAPAK”
Jungjunan,
Sapanjang kiceup cicika
Mulungan genclang
purnama
Ringkang awor jeung
cahaya
Nu ngendat ti sunyaruri
(Lumaku. Ngetak di jalan
satapak
Nyorang kembang jeung rurungkang)” sebait sajak Sunda itu menunjukan betapa besarnya jasa Mahaguru Kang Wayhu Wibisana terhadap para penulis Sunda.
Kang Wahyu sendiri asli pituin urang Tasikmalaya tepatnya di Cisayong yang lahir pada 19 Januari 1935.
Selain sebagai seorang penulis sajak juga sebagai penulis skenario yang merangkap sebagai sutradara.
Karya sastra Kang Wahyu sangat banyak yang beberapa di antaranya diaransemen oleh Mang Koko almarhum menjadi kawih-kawih.
Sebut saja, antara lain “Bulan Bandung Pani–neungan”, “Kembang Tanjung Panineungan”, “Reumis Beureum dina Eurih”, “Samoja” karya sastra Sunda yang diubah menjadi lagu.
Kang Wahyu juga banyak menulis karya Sastra Sunda yang dimuat di bebeberapa media khusunya media Sunda.
Karya sastra Sunda yang cukup fenomenal antara lain, Dua Utusan (1956), Wangsit Siliwangi (1964), Tonggérét Banén (1967), Mundinglaya di Kusumah (1975), Geber-Geber Hihid Aing (1976), Tukang Asahan (1978), Urang Naon di Cinaon (Kumpulan Sajak-1992), Riring-Riring Ciawaking (Kumpulan Dangding, 1999), Anaking Jimat Awaking (Kumpulan Prosa Lirik, 2002).
Pada Tahun 2013, Wahyu Wibisana dianugrahi “Anugerah Rumawat Padjadjaran 2013” bidang kebudayaan oleh Universitas Padjajaran Bandung. (Abdul Latif/ KP”)***
sumber
SEMUA seniman dan sastrawan Sunda berduka atas meninggalnya “mahaguru” pengarang Sunda, Kang Wahyu Wibisana Senin (13/10/2014).
Begitu juga kalangan pengajar di Kabupaten Tasikmakaya merasa kehilangan sosok sastrawan Sunda yang banyak memberi inspirasi di bidang pendidikan.
“Ngiring bela sungkawa, mudah-Mudahan Kang Wahyu kenging rohmat Alloh, karya Karya Kang Wahyu janten pieunteungeun urang Sunda,” kata Ketua PGRI Kabupaten Tasikmalaya, H Yedi Kusmayadi Senin (13/11/2014)
Sebagai seorang pimpinan dalam organisasi besar pengajar, Yedi mengaku sangat kehilangan dengan meninggalnya Mahaguru Sastra Sunda tersebut.
“Mudah-mudahan sing aya nu neraskeun, sangkan ajen-inajen Sunda tetep aya, teu pareumeun obor,” katanya lagi.
Apalagi karya sastra Kang Wahyu banyak dijadikan model dan inspirasi dalam mengajarkan tatakrama atau etika kepada siswa di sekolah oleh para pengajar, di samping jiga mengajarkan budaya, sastra dan bahasa sunda.
“Karya-karya Kang Wahyu Wibisana yang dimuat di Majalah Mangle sering kami jadikan referensi dalam memberika pelajaran kepada siswa mengenai budaya dan bahasa Sunda,” ujarnya.
Kata dia, dalam bidang ilmu sastra Sunda, kang wahyu sudah sangat tinggi ilmu pengetahuannya atau “adiluhung” dan tiada bandingannya sebagai seorang sastrawan Sunda.
Karya peninggalannya, kata Yedi bisa dijadikan pijakan dalam melestarikan budaya dan sastra sunda yang kondisinya saat ini sudah berada di persimpangan jalan.
Banyak anak muda yang merupakan keturunan sunda tetapi tidak bisa berbicara sunda.
Sehingga butuh penerus Kang Wahyu sehingga di masa depan akan tumbuh 1000 kang Wahyu baru yang melestarikan budaya dan sastra Sunda.
Banyak yang kehilangan atas meninggalnya tokoh Sastra Sunda tersebut bukan hanya kaum pengajar.
Kuncen Fiksimini Basa Sunda (FBS) dalam laman Facebook yang dikelolanya menulis kalimat perpisahan yang cukup menyayat perasaan.
“ WILUJENG ANGKAT, MAHAGURU....
Tos mulang
ka Kalanggengan:
Kang Wahyu Wibisana, Mahaguru sakabéh pangarang Sunda, nu teu weléh numuwuhkeun karancagé dina molah makayakeun basa titinggal karuhun.
Wilujeng angkat, Kakang...
Warnaning karya salira baris manjang kumalangkang dina ringkang sastra Sunda ti kiwari tug ka jaga. Rupining piwuruk Kakang bakal manjang run tumurun tina manah kana manah urang Sunda nu rancagé.
Bukan hanya kalimat bela sungkawa saja yang ditulis sang kuncen FBS, tetapi juga ditambah dengan sebuah sajak berjudul jalan Satapak “Wilujeng miang, Kakang.... Mung iasa jajap ku sakotrét sajak JALAN SATAPAK”
Jungjunan,
Sapanjang kiceup cicika
Mulungan genclang
purnama
Ringkang awor jeung
cahaya
Nu ngendat ti sunyaruri
(Lumaku. Ngetak di jalan
satapak
Nyorang kembang jeung rurungkang)” sebait sajak Sunda itu menunjukan betapa besarnya jasa Mahaguru Kang Wayhu Wibisana terhadap para penulis Sunda.
Kang Wahyu sendiri asli pituin urang Tasikmalaya tepatnya di Cisayong yang lahir pada 19 Januari 1935.
Selain sebagai seorang penulis sajak juga sebagai penulis skenario yang merangkap sebagai sutradara.
Karya sastra Kang Wahyu sangat banyak yang beberapa di antaranya diaransemen oleh Mang Koko almarhum menjadi kawih-kawih.
Sebut saja, antara lain “Bulan Bandung Pani–neungan”, “Kembang Tanjung Panineungan”, “Reumis Beureum dina Eurih”, “Samoja” karya sastra Sunda yang diubah menjadi lagu.
Kang Wahyu juga banyak menulis karya Sastra Sunda yang dimuat di bebeberapa media khusunya media Sunda.
Karya sastra Sunda yang cukup fenomenal antara lain, Dua Utusan (1956), Wangsit Siliwangi (1964), Tonggérét Banén (1967), Mundinglaya di Kusumah (1975), Geber-Geber Hihid Aing (1976), Tukang Asahan (1978), Urang Naon di Cinaon (Kumpulan Sajak-1992), Riring-Riring Ciawaking (Kumpulan Dangding, 1999), Anaking Jimat Awaking (Kumpulan Prosa Lirik, 2002).
Pada Tahun 2013, Wahyu Wibisana dianugrahi “Anugerah Rumawat Padjadjaran 2013” bidang kebudayaan oleh Universitas Padjajaran Bandung. (Abdul Latif/ KP”)***
sumber
Senin, 08 Desember 2014
Film 3 Dimensi Si Cepot
Siapa yang tidak kenal si Cepot?, Salah satu karakter Wayang Golek
yang terkenal dengan guyon dan candaannya, adalah karakter wayang golek
yang sangat populer dan hidup sampai sekarang lewat tangan-tangan
terampil Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya ini. Hiruk pikuk dan tepukan
tangan serentak terdengar ketika tokoh yang satu ini muncul di panggung
laga. Demikian populernya Si Cepot di masyarakat Indonesia, Jawa Barat
khususnya.
Tergerak untuk ikut meramaikan , melestarikan dan mempopulerkan si Cepot, salah satu team Masagi Studio Demi Dasmana, mencoba menghidupkan tokoh ini menjadi benar-benar hidup, lewat “tangan-tangan jahil” nya. Di Tangan Demi, si Cepot tampil dalam media baru yang lucu dan menarik dengan kemasan film 3 Dimensi yang cukup apik.
Berikut cuplikan Filmnya, selamat menyaksikan dan semoga berkenan.
Tergerak untuk ikut meramaikan , melestarikan dan mempopulerkan si Cepot, salah satu team Masagi Studio Demi Dasmana, mencoba menghidupkan tokoh ini menjadi benar-benar hidup, lewat “tangan-tangan jahil” nya. Di Tangan Demi, si Cepot tampil dalam media baru yang lucu dan menarik dengan kemasan film 3 Dimensi yang cukup apik.
Berikut cuplikan Filmnya, selamat menyaksikan dan semoga berkenan.
Sabtu, 06 Desember 2014
Iie Sumirat
Iie Sumirat (lahir di Bandung, Jawa Barat, 15 November 1950; umur 64 tahun) adalah pemain bulu tangkis Indonesia. Dia adalah anggota "the Magnificent Seven" bulu tangkis Indonesia pada tahun 1970'an bersama Rudi Hartono, Liem Swie King, Tjun Tjun, Johan Wahyudi, Christian Hadinata dan Ade Tjandra.
Iie Sumirat dikenal sebagai pemain humoris dan eksentrik saat berada di luar maupun di dalam lapangan bulu tangkis, bahkan saat pertandingan. Salah satu tingkah eksentriknya yang terkenal adalah pada saat final Piala Thomas 1979 melawan Denmark, tiba-tiba Iie menari ala Sunda di depan lawannya Svend Pri. Iie menang atas Pri, dan Indonesia berhak memboyong Piala Thomas. Tidak jelas apakah kemenangan Iie karena konsentrasi lawan terganggu oleh tariannya.
Iie Sumirat pensiun dari bulu tangkis pada tahun 1982 saat berusia 32 tahun. Dia kemudian menjadi pelatih bulu tangkis dan mendirikan PB Sarana Muda yang kemudian menjadi SGS Elektrik yang kemudian melahirkan Taufik Hidayat.
sumber
Iie Sumirat dikenal sebagai pemain humoris dan eksentrik saat berada di luar maupun di dalam lapangan bulu tangkis, bahkan saat pertandingan. Salah satu tingkah eksentriknya yang terkenal adalah pada saat final Piala Thomas 1979 melawan Denmark, tiba-tiba Iie menari ala Sunda di depan lawannya Svend Pri. Iie menang atas Pri, dan Indonesia berhak memboyong Piala Thomas. Tidak jelas apakah kemenangan Iie karena konsentrasi lawan terganggu oleh tariannya.
Iie Sumirat pensiun dari bulu tangkis pada tahun 1982 saat berusia 32 tahun. Dia kemudian menjadi pelatih bulu tangkis dan mendirikan PB Sarana Muda yang kemudian menjadi SGS Elektrik yang kemudian melahirkan Taufik Hidayat.
Prestasi
- Dua kali juara (medali emas) Asian Games tahun 1966 dan 1970.
- Juara dunia tahun 1976 di Bangkok, Thailand
sumber
Susi Susanti
Lucia Francisca Susi Susanti (Hanzi: 王蓮香, Pinyin: Wang Lian-xiang, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Februari 1971; umur 43 tahun) adalah seorang pemain bulu tangkis Indonesia.
Dia menikah dengan Alan Budikusuma, yang meraih medali emas bersamanya di Olimpiade Barcelona 1992. Selain itu, ia pernah juga meraih medali perunggu di Olimpiade Atlanta 1996. Pasangan Alan dan Susi memiliki 3 orang anak yang bernama Laurencia Averina (1999), Albertus Edward (2000), dan Sebastianus Frederick (2003).[1]
International Badminton Federation (sekarang Badminton World Federation) pada bulan Mei 2004 memberikan penghargaan Hall Of Fame kepada Susi Susanti. Pemain Indonesia lainnya yang memperoleh penghargaan Hall Of Fame yaitu Rudy Hartono Kurniawan, Dick Sudirman, Christian Hadinata, dan Liem Swie King.
Dia menikah dengan Alan Budikusuma, yang meraih medali emas bersamanya di Olimpiade Barcelona 1992. Selain itu, ia pernah juga meraih medali perunggu di Olimpiade Atlanta 1996. Pasangan Alan dan Susi memiliki 3 orang anak yang bernama Laurencia Averina (1999), Albertus Edward (2000), dan Sebastianus Frederick (2003).[1]
International Badminton Federation (sekarang Badminton World Federation) pada bulan Mei 2004 memberikan penghargaan Hall Of Fame kepada Susi Susanti. Pemain Indonesia lainnya yang memperoleh penghargaan Hall Of Fame yaitu Rudy Hartono Kurniawan, Dick Sudirman, Christian Hadinata, dan Liem Swie King.
Prestasi
Tunggal Putri
- Medali Emas Olimpiade Barcelona 1992
- Medali Perunggu Olimpiade Atlanta 1996
- Medali Perunggu Asian Games 1990, dan 1994
- Juara World Championship 1993, semifinalis World Championship 1991, 1995
- Juara All England 1990, 1991, 1993, dan 1994, Finalis All England 1989
- Juara World Cup 1989 ,1990, 1993, 1994, 1996, 1997
- Juara World Badminton Grand Prix 1990, 1991, 1992, 1993, 1994 dan 1996
- Juara Indonesia Open 1989, 1991, 1994, 1995, 1996, dan 1997
- Juara Malaysia Open 1992,1993, 1994, 1995, dan 1997
- Juara Japan Open 1991 1992, 1994, dan 1995
- Juara Korea Open 1995
- Juara Dutch Open 19931994
- Juara German Open 1992, 1993 1994
- Juara Denmark Open 1991 dan 1992
- Juara Thailand Open 1991, 1992, 1993, dan 1994
- Juara Swedish Open 1991 1992
- Juara Vietnam Open 1997
- Juara China Taipei Open 1991, 1994 dan 1996
- Juara SEA Games 1987,1989, 1991,1995 1997(team)
- Juara PON 1993
- juara world championship junior 5 kali 1985(ws,wd,xd=3 nomor sekaligus)1987(ws,wd)
- juara australia open 1990
Beregu Putri
- Juara Piala Sudirman 1989 (Tim Indonesia)
- Juara Piala Uber 1994 dan 1996 (Tim Indonesia)
- Finalis Piala Sudirman 1991, 1993, 1995 (Tim Indonesia)
- Finalis Piala Uber 1998 (Tim Indonesia)
- Finalis Asian Games 1990, 1994 (Tim Indonesia)
- Semifinalis Piala Uber 1988, 1990, 1992 (Tim Indonesia)
- Juara SEA Games 1987, 1989, 1991, 1993, 1995 (Tim Indonesia)
- Juara PON 1993 (Tim Jawa Barat)
Penghargaan
- Tanda Kehormatan Republik Indonesia Bintang Jasa Utama 1992
- The Badminton Hall of Fame 2004
Yaris Riyadi
Yaris Riyadi (lahir di Bandung, 21 Januari 1973; umur 41 tahun) adalah seorang pemain sepak bola Indonesia yang memperkuat Persib Bandung pada Divisi Utama Liga Indonesia 2007.
Ia berposisi gelandang serang atau gelandang sayap. Ia adalah salah
satu pemain senior yang pengalamannya berguna buat tim dan merupakan
salah satu ikon Persib. Saat ini dia permain di PSGC Ciamis.
Masuk ke Persib Bandung merupakan proyek dari pelatih Risnandar Soendoro pada tahun 1995, tapi memerlukan waktu untuk menempati posisi utama di Persib Bandung. Awalnya dia masih kalah bersaing oleh Imam Riyadi (sesama pemain muda seangkatannya). Tapi ketika Imam memutuskan pindah, maka Yaris lah yang pegang kendali. Ia terus menjadi bagian Persib Bandung dan menjadi icon baru bagi tim kebanggaan kota kembang ini. Sempat hijrah ke Pelita KS ketika Persib Bandung ditangani oleh Marek Andrez Sledzianowski, kemudian dipanggil pulang kembali tahun 2004 sampai tahun 2007. [1]
sumber
Data Diri
- No.Punggung: 3
- Tinggi/Berat: 166/57
- Panggilan: Jacky Chan [1]
Perjalanan karier
- UNI (Int. Persib)
- Persib Bandung
- Pelita Jaya
- Persib Bandung
- Persikab Bandung
- PSIS Semarang
- Bandung FC
- PSGC Ciamis
Karier Bersama Persib
Yaris Riyadi adalah salah satu gelandang terhebat yang dimiliki Persib Bandung setelah era Yusuf Bachtiar. Ciri permainan dia adalah mengobrak abrik pertahanan lawan dengan begitu gesit seperti ucing (kucing). [1]Masuk ke Persib Bandung merupakan proyek dari pelatih Risnandar Soendoro pada tahun 1995, tapi memerlukan waktu untuk menempati posisi utama di Persib Bandung. Awalnya dia masih kalah bersaing oleh Imam Riyadi (sesama pemain muda seangkatannya). Tapi ketika Imam memutuskan pindah, maka Yaris lah yang pegang kendali. Ia terus menjadi bagian Persib Bandung dan menjadi icon baru bagi tim kebanggaan kota kembang ini. Sempat hijrah ke Pelita KS ketika Persib Bandung ditangani oleh Marek Andrez Sledzianowski, kemudian dipanggil pulang kembali tahun 2004 sampai tahun 2007. [1]
Tim Nasional
Yaris Riyadi beberapa kali memperkuat tim nasional di berbagai ajang internasional, ia adalah produk asli Persib Bandung yang meneruskan tradisi bahwa Bandung tak pernah kehabisan talentanya dan menjadi tulang punggung bagi tim nasional Indonesia. [1]sumber
Wowo Sunaryo
Wowo Sunaryo (lahir di Garut, 16 Maret 1934 – meninggal di Cisalak, Cisarua, Sumedang, 2 April 2007 pada umur 73 tahun) adalah seorang pemain sepak bola berkebangsaan Indonesia. Ia merupakan pencetak gol terbanyak pada Asian Games 1958 di Jepang dengan mencetak 23 gol. Wowo merupakan penyerang Indonesia pada era tahun 1960-an. Ia pernah bermain untuk Persib Bandung. Ia meninggal dunia pada tanggal 2 April 2007 akibat sakit.
sumber
Taufik Hidayat
Taufik Hidayat (lahir di Bandung, Jawa Barat, 10 Agustus 1981; umur 33 tahun) adalah pemain bulu tangkis tunggal putra dari Indonesia yang berasal dari klub SGS Elektrik Bandung dengan tinggi badan 176 cm.
Putra pasangan Aris Haris dan Enok Dartilah ini adalah peraih medali emas untuk Indonesia pada Olimpiade Athena 2004 dengan mengalahkan Seung Mo Shon dari Korea Selatan di babak final. Pada 21 Agustus 2005, dia menjadi juara dunia dengan mengalahkan permain peringkat 1 dunia, Lin Dan di babak final, sehingga menjadi pemain tunggal putra pertama yang memegang gelar Kejuaraan Dunia BWF dan Olimpiade pada saat yang sama. Selain itu, ia juga sedang memegang gelar juara tunggal putra Asian Games (2002, 2006). Ia tampil di Olimpiade Beijing 2008, namun langsung kalah di pertandingan pertamanya, melawan Wong Choong Hann di babak kedua.
Selain itu, dia juga telah enam kali menjuarai Indonesia Terbuka: 1999, 2000, 2002, 2003, 2004, dan 2006.
Pengalaman lainnya antara lain pada Piala Thomas (2000, 2002, 2004, 2006, dan 2008) serta Piala Sudirman (1999, 2001, 2003, dan 2005).
Ia menikahi Ami Gumelar, putri Agum Gumelar dan Linda Amalia Sari. Mereka telah dikaruniai seorang putri pada tanggal 3 Agustus 2007, yang kemudian diberi nama Natarina Alika Hidayat. Kelahiran putrinya ini tepat beberapa hari sebelum ia berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia untuk mengikuti Kejuaraan Dunia. Kemudian mereka telah dikaruniai seorang putra pada tanggal 11 Juni 2010, yang kemudian diberi nama Nayutama Prawira Hidayat.[1][2]
Taufik kemudian mundur dari Pelatnas Cipayung pada 30 Januari 2009. Setelah itu ia menjadi pemain profesional. Beberapa waktu lalu ia juga menjalin bisnis dengan Yonex dalam pengadaan alat olahraga.
Putra pasangan Aris Haris dan Enok Dartilah ini adalah peraih medali emas untuk Indonesia pada Olimpiade Athena 2004 dengan mengalahkan Seung Mo Shon dari Korea Selatan di babak final. Pada 21 Agustus 2005, dia menjadi juara dunia dengan mengalahkan permain peringkat 1 dunia, Lin Dan di babak final, sehingga menjadi pemain tunggal putra pertama yang memegang gelar Kejuaraan Dunia BWF dan Olimpiade pada saat yang sama. Selain itu, ia juga sedang memegang gelar juara tunggal putra Asian Games (2002, 2006). Ia tampil di Olimpiade Beijing 2008, namun langsung kalah di pertandingan pertamanya, melawan Wong Choong Hann di babak kedua.
Selain itu, dia juga telah enam kali menjuarai Indonesia Terbuka: 1999, 2000, 2002, 2003, 2004, dan 2006.
Pengalaman lainnya antara lain pada Piala Thomas (2000, 2002, 2004, 2006, dan 2008) serta Piala Sudirman (1999, 2001, 2003, dan 2005).
Ia menikahi Ami Gumelar, putri Agum Gumelar dan Linda Amalia Sari. Mereka telah dikaruniai seorang putri pada tanggal 3 Agustus 2007, yang kemudian diberi nama Natarina Alika Hidayat. Kelahiran putrinya ini tepat beberapa hari sebelum ia berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia untuk mengikuti Kejuaraan Dunia. Kemudian mereka telah dikaruniai seorang putra pada tanggal 11 Juni 2010, yang kemudian diberi nama Nayutama Prawira Hidayat.[1][2]
Taufik kemudian mundur dari Pelatnas Cipayung pada 30 Januari 2009. Setelah itu ia menjadi pemain profesional. Beberapa waktu lalu ia juga menjalin bisnis dengan Yonex dalam pengadaan alat olahraga.
Prestasi
- 1998: Juara Brunei Open
- 1999: Juara Indonesia Open, Juara SEA Games
- 2000: Juara Indonesia Open, Juara Malaysia Open, Juara Kejuaraan Asia
- 2001: Juara Singapore Open
- 2002: Juara Sanyo-BNI Maybank Indonesia Open, Juara Taiwan Open, Juara Asian Games
- 2003: Juara Sanyo-BNI Maybank Indonesia Open
- 2004: Juara Indonesia Open, Juara Kejuaraan Asia, Juara Olimpiade
- 2005: Juara Singapore Open, Juara Kejuaraan Dunia
- 2006: Juara Indonesia Open, Juara Asian Games
- 2007: Juara Kejuaraan Asia, Juara SEA Games
- 2008: Juara Macau Open
- 2009: Juara US Open, Juara India Open
- 2010: Juara Canada Open, Juara Indonesia GP Gold, Juara French Open SS
- 2011: Semifinalis VICTOR- BWF Superseries Finals, Runner Up PROTON MALAYSIA OPEN SUPER SERIES, Semifinalis Victor Korea Open Super Series Premier, Semifinalis Yonex – Sunrise India Open Superseries, Perempat final Indonesia Open Superseries Premier 2011, perempat final 2011 Yonex OCBC US Open Grand Prix Gold, Runner - up 2011 Yonex Canada Open, Semi final Bankaltim Indonesia Open GP Gold 2011, Juara India Open Grand Prix Gold 2011
- 2012: Semifinal Maybank Malaysia Open Presented by PROTON, Perempat final YONEX All England Open Badminton Championships 2012, Semi final Swiss Open 2012, Perempat final 2012 Yonex Australian Open GP Gold, Perempat final Yonex Sunrise India Open 2012, Perempat final YONEX Open Japan 2012
Iklan
- U-Max Smart TV Changhong (bersama Mulyo Handoyo)
Langganan:
Postingan (Atom)