Mengurus dunia penyiaran memang tidak mudah. Apalagi di negara
berkembang seperti Indonesia saat ini. Mulai dari tingginya tingkat
kemajemukan penduduk, hingga luasnya wilayah teritorial yang dimiliki,
semakin membuat pemerintah kelimpungan mengurusi dunia kreatif ini.
Hal itu juga pasti dirasakan oleh Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Dadang Rahmat Hidayat. Dalam tugasnya mengatur dan mengawasi isi siaran seluruh pelosok negeri, tidak jarang ia harus menghadapi berbagai benturan dan kepentingan dari pihak tertentu.
Salah satu contohnya adalah ketika ia mengeluarkan pernyataan bahwa beberapa acara infotaiment adalah siaran nonfaktual. Dalam situasi seperti itu ia harus beradu argumen dengan para pemilik perusahaan siaran, terutama rumah produksi yang banyak bermain di wilayah infotaiment.
Lelaki kelahiran 5 Februari, 42 tahun silam ini memang bisa dibilang orang yang pemberani. Gertakkannya pada perusahaan penyiaran yang sering menyalahi aturan selalu mendapat apresiasi positif dari masyarakat yang kritis.
Ayah dari tiga anak ini adalah penggagas program Gerakan Media Sehat dan Pemirsa Cerdas (GEMAS PEDAS) di KPI Daerah Jawa Barat (KPID Jabar). Gerakan tersebut adalah program unggulan saat dirinya menjabat sebagai Ketua KPID Jabar.
Kompetensi dan Kapasitasnya yang mumpuni dalam bidang penyiaran, membawa Suami dari Herlina Agustin ini dipilih DPR RI sebagai komisioner KPI Pusat periode 2010-2013. Pengalamannya sebagai Pembantu Dekan (PD) III di Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) ini menjadikan dirinya diberi kepercayaan memimpin KPI Pusat hingga tiga tahun kedepan.
Pada 17 November 2010 yang lalu, Dadang menceritakan pengalaman dan pandangannya seputar dunia penyiaran Indonesia kepada Frame Magz di kediamannya di Metro, Bandung. Dengan mengenakan kaos dan celana pendek, Dadang terlihat santai namun bersemangat.
***
Pada tahun 2004, ada rencana dari pemerintah yang ingin mendirikan Komisi Penyiaran Indonesia untuk daerah Jawa Barat. Saat itu, saya masih menjabat sebagai Pembantu Dekan III di Fikom Unpad. Mendengar rencana pemerintah tersebut, fakultas menugaskan saya untuk menjadi panitia seleksi bagi calon komisionernya. Namun dalam prosesnya, malah banyak masyarakat ֠yang dalam hal ini LSM dan Ormas ֠meminta saya untuk tidak hanya menjadi panitia, melainkan ikut seleksi menjadi komisionernya.
Awalnya saya tidak serta-merta meng-iya-kan permintaan masyarakat tersebut, karena saat itu saya sedang senang-senangnya dengan jabatan Pembantu Dekan III. Namun karena rekomendasi dari masyarakat tersebut disalurkan juga ke fakultas, maka fakultas pun setuju. Melalui rapat senat, akhirnya turunlah perintah dari fakultas untuk saya mengikuti proses seleksi tersebut.
Saat itu, yang diminta oleh fakultas untuk mengikuti proses seleksi ada 10 orang dosen. Tapi dari 10 orang tersebut yang akhirnya berhasil menjadi komisioner KPID Jabar hanya ada 2 orang, yaitu saya dan Dian Wardiana. Singkat cerita, dalam mekanisme internal KPID Jabar saat itu, terpilih lah saya sebagai ketua. Setelah masuk kesana, saya tentu ingin berbuat yang terbaik sesuai perintah dari undang-undang. Yaitu menciptakan penyiaran yang lebih baik.
Jabatan sebagai komisioner KPI memang tidak mengganggu pekerjaan saya menjadi dosen, namun hal itu berpengaruh pada alokasi waktu saya untuk mengajar. Jujur saja, saat dimana saya harus membagi waktu antara menjadi dosen, menjadi PD III, dan menjadi komisioner KPID, itu adalah saat paling merepotkan. Repot itu mengakibatkan saya harus menyediakan stamina dan tenaga yang lebih. Makanya saat itu saya jadi sering mengonsumsi suplemen dan vitamin.
Saya adalah orang yang sangat hobi berolahraga. Pekerjaan yang seringkali menumpuk itu membuat waktu saya untuk olahraga jadi berkurang. Jika sebelumnya saya bisa main sepak bola dan badminton 2 kali seminggu, sekarang untuk jogging saja hampir tidak bisa.
Kalau kalian ingin tahu, saat kuliah dulu saya adalah juara umum karate tingkat universitas. Saat kuliah, saya tercatat sebagai mahasiswa doble degree. Yaitu menjalani dua program studi di fakultas yang berbeda sekaligus, yang satu Fikom dan yang satu lagi Fakultas Hukum (FH). Keduanya sama-sama di Unpad. Waktu itu memang belum ada aturan yang melarang mahasiswa kuliah dua jurusan disatu universitas sekaligus.
Selain karate, saya juga pemain sepak bola tingkat fakultas maupun universitas. Pernah suatu ketika di Kejuaraan Piala Rektor Unpad, saya didiskualifikasi karena status saya yang tercatat pada dua tim berbeda, yaitu tim sepak bola Fikom dan tim sepak bola FH. Akibatnya saya tidak bisa membela keduanya. Lagi pula saya juga bingung harus membela yang mana. Hehe..
Saat jadi mahasiswa dulu, saya juga pernah aktif di Resimen Mahasiswa (Menwa). Malah di Menwa, saya sempat mendapat jabatan tertinggi, yaitu Kepala Staf Menwa Jabar. Disitu saya menjadi atasan dari seluruh Menwa yang ada di Jabar.
Sebenarnya saya masuk menwa karena ketidak sukaan saya pada UKM tersebut. Kalau kata orang-orang, anggota menwa itu suka petantang-petenteng. Karena hal itu, saya coba untuk masuk. Saya ingin membuktikan apakah anggota Menwa itu memang harus seperti itu. Setelah saya masuk, saya baru tahu kenapa mereka seperti itu. Ternyata mereka seperti itu karena memang tidak boleh terlihat loyo. Mungkin dari Menwa juga lah jiwa kepemimpinan saya mulai benar-benar terbentuk.
***
Saya berasal dari keluarga sederhana. Ayah saya hanya mau disebut sebgai petani. Walau beliau sempat menjadi tentara dan menjadi anggota dewan tingkat kabupaten, tapi beliau lebih suka disebut sebagai petani. Ibu saya pun juga begitu, dia adalah ibu rumah tangga yang gemar medirikan usaha kecil-kecilan saja.
Saya merasa tidak ada pengaruh langsung antara latar belakang orang tua dengan jabatan saya saat ini. Mungkin pengaruhnya ada pada didikan serta ilmu yang diberikan beliau hingga mengakibatkan saya menjadi seperti ini.
Para anggota dewan mungkin memilih saya karena mereka melihat latar belakang saya selama ini. Malah saya pernah merasa, mungkin mereka memilih saya karena kasihan. Toh tidak ada salahnya jika memang benar mereka begitu. Hehe..
Saat itu, yang menyeleksi saya adalah anggota DPR RI dari Komisi I. Di hadapan mereka, saya hanya menyampaikan visi dan misi untuk menciptakan penyiaran Indonesia yang sehat. Sehat disini berarti sehat perusahaan penyiarannya, yang kemudian akan berakibat juga pada pemirsanya yang menjadi cerdas.
Menciptakan hal seperti itu memang berat, tapi itulah yang menjadi dasar atas motivasi saya. Semuanya itu kan hanya sebuah proses. Ini sama halnya ketika Indonesia yang ingin menjadi negara makmur. Namun sudahkah Indonesia menjadi negara yang seperti itu? Jawabannya tentu belum. Tapi bolehkah indonesia bercita-cita seprti itu? Boleh. Ini hanya persoalan bagaimana kita bercita-cita dan diiringi dengan berusaha.
Jujur saja, awalnya saya ragu untuk ikut mendaftar sebagai calon komisioner KPI Pusat. Karena saya merasa jabatan di KPID Jabar tidak kalah penting. Tapi karena dorongan dari kawan-kawan akademisi dan masyarakat, akhirnya saya mendaftar juga. Singkat cerita lagi, setelah mengikuti berbagai proses seleksi, akhirnya saya pun terpilih hingga menduduki posisi ketua di lembaga tersebut.
Ilmu tentang dunia penyiaran saya dapat dari bertukar ilmu selama di kampus. Saat saya masuk ke KPID Jabar, latar belakang saya adalah akademisi, bukan praktisi. Masih sama sama seperti saat ini.
Ada kala dimana saya mempunyai cita-cita menjadi wartwan. Tapi yang ada kemudian tidak tercapai, saya malah menjadi dosen. Memang berbeda, tapi toh sama saja jika kita menjalankannya dengan baik dan benar.
***
Dunia penyiaran ini adalah dunia yang kreatif ֠dimana manfaat dan potensi pelanggarannya sama-sama besar. Masalah penyiaran di Indonesia itu sangat kompleks. Salah satu contoh adalah banyaknya lembaga penyiaran yang sudah mengudara tapi belum mempunyai izin. Ini tentu mengganggu dan menyalahi aturan. Tapi yang lebih berat lagi adalah menegakkan bagaimana isi siaran yang berkualitas dan edukatif.
Yang kita sesalkan dalam dunia penyiaran saat ini adalah banyaknya lembaga penyiaran yang hanya mempunyai tujuan komersil. Jadi, untuk membuat isi siarannya laku, mereka tidak mempertimbangkan norma-norma yang ada. Seperti mempertontonkan kekerasan hingga perilaku menyimpang layaknya tingkah laku kebanci-bancian.
Saya tidak melarang waria tampil di layar televisi. Yang saya larang adalah tingkah laku kebanci-bancian. Alasannya sederhana saja, jika tingkah laku seperti itu ditonton anak-anak, bisa jadi mereka akan menirunya. Ini akan menjadi masalah saat anak-anak tersebut mulai beranjak dewasa dan menganggap bahwa perilaku tersebut adalah wajar untuk mereka lakukan.
Saat awal-awal menjabat sebagai Ketua KPI Pusat, ada pernyataan saya yang menimbulkan kontroversi. Itu berkaitan dengan teguran kami terhadap banyaknya acara infotaiment yang mengaku program jurnalistik namun mengindahkan aturan jurnalistik. Dalam dunia jurnalisitk, kita mengenal fakta selalu dijunjung tinggi. Tapi kenyataannya banyak opini bermain disana, atau malah rekayasa.
Jadi sebenarnya saya hanya mengingatkan, bagi setiap acara yang mengaku tayangan jurnalistik, harus tunduk pada kaidah jurnalistik juga. Sebenarnya tidak penting acara itu masuk kategori faktual atau nonfaktual. Yang penting adalah bagaimana tayang tersebut menjadi lebih baik. Kerena dunia penyiaran itu frekwensi publik, maka isi siarannya pun harus bermanfaat bagi publik.
Masalah terbesarnya adalah jika orientasi pada rating itu terus menjadi patokan lembaga penyiaran yang ada. Saya selalu meminta kepada lembaga penyiaran untuk selalu menyadari bahwa frekwensi yang digunakan itu adalah ranah publik. Oleh karena itu siarannya harus bermanfaat untuk publik.
Namun semua itu akan tidak ada artinya jika masyarakat masih menjadi silent society, yaitu masyarakat yang pasif dan pasrah. Masyarakat harus menjadi pemirsa yang melek dan sadar ֠yang mampu membedakan mana yang perlu ditonton dan mana yang tidak perlu ditonton.***
penulis : Achmad Zahid F.M.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar